Ada salah satu documentary series yang saya suka banget dari Netflix, judulnya This is Pop. Episode ketiga documentary tersebut yang berjudul “Stockholm Syndrome” bener-bener bikin saya terkejut, dan dari episode itu juga saya mengenal sebuah prinsip hidup keren dari Swedia yang disebut “Jantelagen” atau “The Law of Jante”. Apa itu Jantelagen?
Table of Contents
Swedia: Pusat Musik Pop Populer yang Banyak Orang Tidak Tahu
Satu premise yang bikin saya sangat terkejut ketika menonton intro episode ketiga This is Pop adalah fakta bahwa semua musik pop populer yang kita kenal di akhir era 1990-an sebenernya berasal dari negara kecil di Eropa, yaitu Swedia.
Jelas saya kaget, karena era pop akhir tahun 1990-an adalah eranya Backstreet Boys (BSB), N*SYNC, Britney Spears, yang kesemuanya adalah artis Amerika dengan lagu berbahasa Inggris, kok bisa disebut berasal dari Swedia?
Usut punya usut, ternyata songwriters dan produser dari boyband dan penyanyi yang lagunya bertengger di chart musik Amerika semuanya datang dari Swedia. Lagu hits seperti “..Baby One More Time”-nya Britney, “I Want It That Way”-nya BSB, “It’s Gonna Be Me”-nya N*SYNC, dan semacamnya, ternyata ditulis oleh songwriters dan produser dari Cheiron Studio di Stockholm, Swedia.
Cheiron Studio dulu didirikan oleh Deniz POP yang merupakan seorang DJ dan produser Swedia, yang kemudian merekrut songwriters/produser yang kini menjadi songwriter/produser terkenal seperti Per Magnuson, Jorge Eloffson dan tentu saja Max Martin yang karya dan award-nya banyak banget, termasuk beberapa (bukan cuma satu) Grammy Awards!
Bahkan, di dunia ini, hanya 2 orang yang bisa mengalahkan record Max Martin sebagai penulis lagu hits terbanyak, yaitu Paul McCartney dan John Lennon. Kebayangkan betapa kerennya dia.
Saya juga sangat terkejut ketika tahu bahwa penyanyi terkenal di Amerika seperti Taylor Swift, Rihanna, Katy Perry, Pink, Ariana Grande, Celine Dion, Ellie Goulding sampe ke Childish Gambino dan band seperti Maroon5, ternyata semuanya pernah bekerjasama dengan songwriter/produser Swedia untuk lagu hits mereka!
Yang saya juga baru tau adalah group vokal yang terkenal di dunia bernama ABBA (ternyata bacanya “abba” bukan “ei-bi-bi-ei” LOL), juga berasal dari Swedia dengan semua lagu hitsnya itu. Roxette, Ace of Base, ternyata juga dari Swedia.
Tapi kenapa ngga banyak orang yang tau keren dan kreatifnya para artist/songwriter/produser Swedia ini? Itu lah Jantelagen.
Apa itu Jantelagen: Rahasia Kerendah Hati-an Orang Swedia
Kenapa tidak banyak orang mengenal Swedia sebagai pusat musik pop? Jawabannya adalah karena prinsip Jantelagen yang dipegang oleh orang-orang Swedia.

Meskipun lagu-lagu hits pop internasional ditulis dan diproduseri oleh orang Swedia, mereka tidak pernah memamerkan, bragging, atau menunjukkan kesuksesan mereka seperti orang-orang di Amerika misalnya. Karena orang Swedia berprinsip, “You should not think you are better than anybody else”.
Kalau menurut sejarah yang ditulis dalam laman Wikipedia, ada sepuluh aturan yang tertulis dalam the Law of Jante, yang intinya adalah “You are not to think you’re anyone special, or that you’re better than us.“
Prinsip inilah yang menjaga orang-orang Swedia tetap rendah hati meskipun sebenernya mereka punya prestasi luar biasa yang bahkan orang lain tidak menyadarinya. Dan ini ngga cuma soal prestasi aja, tapi juga soal money and wealth.
Dikutip dari laman BBC, prinsip Jantelagen ini sebenernya lebih luas lagi, “It’s not just about wealth, it’s about not pretending to know more than you do or acting above your station“. Prinsip seperti ini, menurut orang Swedia, menjaga mereka untuk tetap terasa “setara” sehingga mengurangi sumber stress ketika harus bekerja dalam kelompok.
Kalau menurut Ludwig Goransson, komposer/produser Swedia yang berhasil menyabet Oscar untuk lagu “Lift Me Up” Rihanna di Black Panther, mengatakan bahwa dibandingkan memamerkan kesuksesan mereka, orang Swedia lebih suka mendengarkan apa yang orang lain sampaikan. For me, it is a very humble and positive way of life.

Jantelagen Backlash
Meskipun menurut saya prinsip ini sangat cantik, tetapi beberapa muda-mudi di Swedia ada yang mulai merasa represif dengan adanya prinsip ini.
Seperti yang dilaporkan dalam laman BBC, era sosial media menjadi salah satu alasan kuat dari backlash Jantelagen ini. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran sosial media memperkuat kultur “standing out of the crowd”, yang mendukung orang untuk “bragging” di sosial media. Inilah fenomena yang terjadi di kalangan muda Swedia.
Menurut beberapa muda-mudi di Swedia, prinsip ini sudah semakin pudar. Banyak orang yang kini dengan bebas memamerkan apa yang mereka bisa, apa yang mereka capai, tentu saja dengan bantuan sosial media.
My take on Jantelagen
Menurut saya pribadi, prinsip ini semestinya lebih banyak diterapkan di era modern, era sosial media di mana orang berlomba-lomba memamerkan semua hal.

Dalam satu sisi, menunjukkan apa yang kita bisa dalam sebuah portofolio untuk kepentingan karir adalah sesuatu yang lain, yang menurut saya itu penting. Namun, selebihnya, untuk hal-hal pribadi, konsumsi pribadi, tidak perlu dipamerkan.
Jantelagen adalah sebuah konsep self controling, sama seperti riya’ untuk orang muslim. Apapun bentuknya, mau Jantelagen atau tidak Riya’, self controling adalah skill hidup yang sangat penting untuk manusia, dan semua orang harus bisa. Itulah inti dari apa itu Jantelagen sesungguhnya.
Seperti kata Shellback, songwriter/composer/producer dari Swedia, “it is okay with being in the background”. Ya ngga sih?
Bagaimana menurut teman-teman?
Menurut saya, prinsip Jantelagen yang kakak bahas ini cocok untuk yang nggak suka diganggu sama hal yang terlalu berbau “keramaian”, yang suka risih kalau terlalu banyak dikenal. Cocok juga sih, buat saya yang cenderung introver.
Tapi emang bener, dunia sosial media udah mengubah kultur orang-orang di dunia, bukan cuma Swedia. Sikap narsistik udah jadi hal biasa kayaknya ya. Buat saya sih agak bikin risih, tapi ya itu pilihan mereka. Saya juga gak mungkin melarang. Hehe..
Betul nih, kayanya cocok sama introvert. Saya juga cenderung introvert soalnya, jadi merasa relate dengan Jantelagen ini haahaha
And last but not least, welcome to the new world di mana media sosial bener-bener membentuk karakter dunia. Sad but true 🙁