Sebelumnya saya sudah pernah cerita tentang guru bahasa Jepang saya yang mengajari saya baca kanji dengan membiasakan saya membaca kolom koran yang bercerita seputar dunia bekerja di Jepang. Terakhir kami belajar bareng, kami membahas seputar kondisi pegawai yang kerja di perusahaan di Jepang. Berhubung guru saya ini seorang karyawan di perusahaan yang lumayan besar di Osaka, sedikit banyak beliau sering share kondisi perusahaan di Jepang, termasuk concern beliau tentang 5-6 tahun ke depan.
Menurut beliau, 5-6 tahun ke depan adalah saat yang buruk untuk memulai bekerja di Jepang. Kenapa?
Disclaimer, cerita ini diceritakan dari POV pekerja kantoran/kelas pekerja ya. Kalo profesinya dokter atau milyuner atau entrepreneur kelas kakap atau politisi mungkin ngga relate yak.
Table of Contents
Economic Bubble dan Baby Boom
Sedikit memberikan gambaran tentang perekonomian Jepang (tapi dari kacamata amatir ya, ini saya belajar dari guru saya dan suami saya yang kerja di bidang finansial). Era tahun 1970 sampe tahun 1990 an adalah tahun keemasan perekonomian Jepang. Banyak perusahaan-perusahaan besar dibangun di era tersebut, perusahaan tersebut sukses dan membuat Jepang menjadi salah satu economic giant di dunia.
Disaat yang sama, terjadi baby boom. Generasi yang lahir pada era tersebut jumlahnya banyak, dan bisa ditebak, saat ini mereka-mereka itulah yang berada di puncak karir di banyak perusahaan di Jepang. Hampir di semua perusahaan besar, orang yang menjabat sebagai direktur atau jabatan tinggi lainnya berasal dari era boomer.
Pecahnya Economic Bubble
Awal masalah adalah ketika economic bubble itu pecah. Ngga tau gimana pecahnya ya hehehe. Tapi sejak tahun 1990an (1990 akhir), sebenernya perekonomian Jepang uda stagnan. Perusahaan-perusahaan baru makin berkurang. Ngga ada tempat untuk investasi, jadi 90% orang Jepang menyimpan uang mereka di bank, dan uang itu ngga berputar (ini ceritanya agak panjang bisa jadi satu post sendiri, jadi kita skip aja ya).
Karena uang itu ngga berputar, jadilah perekonomian lesu. Deflasi terjadi terus bahkan ketika harusnya inflasi bisa menolong. Gaji ngga pernah naik, padahal pajak di Jepang tinggi. Orang mulai malas berkeluarga karena pajak yang tinggi untuk setiap kepala yang mereka lahirkan di bumi. Belum lagi tanggungjawab pendidikan dan pengasuhan yang semua serba mahal di Jepang.
Ngga heran kalo populasi di Jepang semakin menurun seiring dengan lesunya perekonomian tersebut. Padahal, semakin menurunnya jumlah populasi, artinya semakin turun jumlah tax-payer, dan yang bikin masalah, pension payer.
Pension-payer dan perpanjangan usia pensiun
Nah, masalah datang ketika 30 tahun kemudian jumlah populasi semakin turun, tax-payer dan pension payer makin sedikit, padahal tau sendiri orang-orang yang masuk usia pensiun pada dekade ini adalah mereka-mereka yang lahir di era boomer. Artinya, besar pasak daripada tiang. Lebih besar pensiun yang harus dibayar ketimbang yang bayar iuran pensiun.
Well, sistem pensiun di Jepang aslinya bukan direct gitu sih, harusnya kan pensiun itu seperti tabungan yang disimpan. Tapi, ini ceritanya juga panjang kenapa kok sistem pensiun di Jepang terkesan seperti “yang muda membayar yang tua”, but it is true. Emang sekarang seperti itu situasinya.
Karena beban pensiun ini begitu tinggi, akhirnya pemerintah Jepang “ngide” untuk memperpanjang usia pensiun, yang tadinya 60 tahun, jadi 65 tahun. Yang tadinya hak uang pensiun bisa cair di usia 60 tahun, jadi mundur ke usia 65 tahun. Yang tadinya berhenti bayar pensiun di usia 60, jadi nambah bayar 5 tahun lagi, yang ini dianggap bisa membantu pemerintah. Tapi, ini jadi masalah yang lain lagi.
Dilema dalam perusahaan
Permasalahannya ada di dalam perusahaan. Rata-rata para senior itu berada di posisi puncak karir mereka. Rata-rata mereka adalah direktur, kepala bagian, atau jajaran direksi lainnya. Di dalam satu perusahaan, hanya ada satu orang yang bisa menempati posisi-posisi tersebut. Kalau para senior ini ngga kunjung pensiun, maka orang-orang yang berada di bawahnya ngga bisa “naik jabatan”. Mereka akan stuck di jabatan yang sama lebih lama.
Makanya, sekarang di Jepang lagi banyak bermunculan perusahaan atau aplikasi yang menawarkan “transfer” bagi para pegawai yang stuck di jabatannya untuk jangka waktu yang lama. Seperti aplikasi BizReach (yang iklannya rajin nongol di TV). Karena satu-satunya solusi bagi para pegawai ini untuk berkembang karir (dan gajinya) adalah dengan pindah perusahaan.
Parahnya lagi, karena posisi puncak itu ngga kunjung kosong, artinya, ngga ada lagi kebutuhan karyawan baru. Walaupun begitu, regenerasi perusahaan dengan cara merekrut pegawai baru wajib dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tertentu. Sehingga, yang terjadi, banyak pegawai baru yang direkrut dengan posisi part-timer, atau direkrut dengan gaji yang lebih rendah dari seharusnya. Dan ini sedikit banyak terjadi di perusahaan tempat guru saya bekerja di Osaka.
Ada satu budaya bekerja di Jepang yang unik, di mana para direksi yang mau pensiun ini biasanya dicopot dari jabatannya 5 tahun sebelum pensiun, harapannya 5 tahun terakhir itu bisa menjadi tahun transisi bagi penerusnya. Jadi, si senior ini bisa menjadi mentor bagi direksi baru yang naik. Tapi, yang terjadi, banyak para senior direksi yang kemudian tidak mau me-mentor para direksi baru supaya si senior ini bisa meng-keep posisinya di perusahaan, yang ini berpotensi membuat perusahaan jadi nggak maju. Imbasnya, ya ke pekerja muda juga.
Lalu, setelah 5-6 tahun?
Menurut guru saya, situasi seperti ini, yang serba tidak menentu dan bisa berganti-ganti arah kebijakannya ini masih akan terjadi selama 5-6 tahun ke depan, selama senior era boomer masih menjabat. Tapi, setelah 5-6 tahun, apakah akan lebih kondusif? Pendapat pribadi guru saya, dan juga suami saya, belum tentu semakin baik.
Well, permasalahan turun jumlah populasi manusia di Jepang sebenernya membawa kunci yang besar dan berpengaruh di semua sektor. Meskipun generasi boomer sudah tidak ada di posisi strategis dalam 5-6 tahun ke depan, tapi masih ada beban ekonomi yang harus ditanggung oleh generasi muda, karena ekonomi yang sudah tidak berkembang selama 30 tahun terakhir (thanks to kebijakan yang dicanangkan oleh politisi era boomer juga–cerita ini juga panjang banget).
Untuk membantu mengatasi gap dalam hal jumlah populasi, makanya pemerintah Jepang mulai lenient dengan orang asing. Banyak program yang dicanangkan untuk mengundang orang asing–yang kompeten–untuk membantu memutar roda perekonomian. Misalnya membuat visa khusus untuk para lulusan world’s top university yang bertajuk visa J-Find.
Belakangan, saya juga baru tau dari guru saya, kalau perusahaan seperti Google dan Meta akhirnya mendapat ijin untuk membuka kantor mereka di kota Kobe (kata guru saya), harapannya bisa meningkatkan absorbansi pekerja di kota kecil, supaya ngga numpuk di kota besar seperti Tokyo atau Osaka. Pun beberapa perusahaan asing mulai membuka kantornya di Jepang.
Sebenernya, menurut suami saya, pemerintah Jepang berulangkali mengeluarkan program-program menggiurkan untuk warganya yang mau mendirikan perusahaan. Mulai dari suntikan modal, potongan pajak, hingga layanan-layanan gratis. Tapi, kembali lagi, kalau orangnya ngga ada (karena populasi yang turun), ya siapa yang mau mendirikan perusahaan? Kalau perusahaan makin sedikit, ekonomi jadi lebih sulit berputar dibanding jaman economic bubble dulu.
Sedihnya lagi, karena populasi yang turun juga, tanggungan pensiun semakin besar. Meskipun, para pekerja muda membayar pensiun yang sangat besar selama mereka bekerja saat ini, nantinya mereka tetap tidak akan mendapat uang pensiun yang cukup (bahkan tidak cukup untuk membayar sewa tempat tinggal dan hidup sehari-hari tiap bulannya).
Makanya, pemerintah mulai mendorong masyarakat Jepang untuk investasi, melalui NISA misalnya. Supaya nantinya mereka bisa mencukupi uang pensiun mereka sendiri sekaligus mendorong mereka untuk ngga menabung (karena nanti uangnya mengendap doang), tapi untuk investasi supaya uangnya bisa memutar ekonomi di Jepang.
Kesimpulan
Jadi, buat yang mau bekerja di Jepang, perlu memperhatikan perkembangan perekonomian ini. Memang, tinggal di Jepang itu nyaman, tapi harus kerja keras betul. Karena memang budayanya keras, pajaknya tinggi, dan masa tuanya masih tanda tanya (yang jelas belum tentu semakmur orangtua Jepang saat ini).
Tidak ada yang tau pasti akan jadi seperti apa negara Jepang ke depannya. Karena, salah satu hal yang menjadikan Jepang adalah negara Jepang adalah orang-orang dan pola pikirnya. Ketika mereka sudah tergantikan dengan gelombang orang asing, belum tentu Jepang akan menjadi “Jepang” yang seperti kita ketahui.
Jadi, gimana menurut temen-temen? Tertarik bekerja di Jepang?