Ngga mau menggurui atau mengajari, saya cuma pingin share pengalaman hidup berumahtangga yang bikin saya bener-bener yakin 100% bahwa pasangan adalah cerminan diri kita sendiri. Siapa tau pengalaman saya ini mungkin bisa dijadikan pertimbangan, termasuk untuk yang masih mencari pasangan hidup.

So, here we go.

Ketika kita toxic, pasangan pun toxic

Kayanya saya uda sering share lewat beberapa postingan di website ini kalo (sama seperti pasangan lain) saya sering ribut sama suami. Bahkan, ada periode di mana kami ribut hampir setiap hari, dan ribut dengan kaliber yang lumayan besar yang hampir merubah keputusan hidup kami.

Alasan yang mendasari kenapa kami berkelahi adalah karena saya khawatir dengan berbagai hal. Saya khawatir dengan perilaku suami yang begini dan begitu, saya khawatir dengan masa depan rumah tangga kami, sampai hampir menjadi obsesi.

Suami saya adalah tipe cowok yang santai, sabar, mengalir, dan cenderung spontan. Beliau ngga biasa khawatir berlebihan untuk hal-hal yang belum pasti terjadi di masa depan. Biasanya beliau bisa menenangkan kekhawatiran saya yang berlebihan dengan pribadinya yang kalem.

Tapi, ketika ketakutan dan kekhawatiran itu menjadi obsesi, saya pun menjadi pribadi yang toxic. Ketika saya menjadi pribadi yang toxic, suami pun lambat laun perangainya jadi berubah. Beliau jadi lebih reaktif, tapi jadi lebih cuek (karena beliau menghindari menyiram minyak ke saya yang sudah emosi panas membara). Sampai akhirnya situasi justru makin panas, dan suami ikutan toxic.

Ketika kita content, pasangan pun content

Setelah kejadian ribut besar kala itu, masing-masing dari kami introspeksi diri. Saya pun kembali mencari sebenernya saya ingin apa dan saya ingin menjadi pribadi yang seperti apa.

Baca juga  Pelajaran Penting dari Sebuah Pertikaian

Saya berusaha mengingat kembali pribadi seperti apa saya ketika bertemu dengan suami. Semasa S3, saya memang pribadi yang cukup mandiri. Kekhawatiran tentu ada (because fear used to be my perks), tapi saya jauh lebih berani, lebih mandiri, ngga clingy ke suami seperti saya saat khawatir waktu itu.

Karena karakter yang mandiri dan berani itu, saya jadi lebih santai dan sabar. Lebih terbuka dan lebih asyik. Mungkin pribadi itulah yang menarik suami yang notabene juga menghargai kehidupan yang santai dan mengalir itu.

Saya liat-liat, sejak menikah, lambat laun saya jadi tidak semandiri dulu. Makanya jadi lebih clingy dan demanding. Di saat yang sama, cara suami berkomunikasi dengan saya juga menyesuaikan dengan ke-clingy-an dan demanding saya yang menyebalkan. Karena dia jadi menyebalkan, kami jadi sama-sama menyebalkan. Saya jadi mudah khawatir, suami pun jadi lebih reaktif.

Maka, saya coba menghilangkan kekhawatiran itu dan kembali menjadi pribadi yang berani dan mandiri. Melalui teman-teman, saya belajar tentang “pasrah”, belajar tentang “letting go”, belajar bagaimana “mengendalikan diri”, kembali berkomunikasi dengan Tuhan, belajar memahami orang lain (apalagi yang berbeda budaya), dan akhirnya belajar memahami apa yang sebenarnya saya inginkan dan bagaimana cara menggapainya.

Selama proses perubahan diri itu, suami pun juga lambat laun berubah. Saya jadi lebih mandiri dan berani, sehingga saya lebih bahagia dan puas dengan diri sendiri, suamipun juga begitu. Ketika kita sama-sama bahagia, komunikasi jadi lebih baik. Akhirnya, masalah keributan besar kami waktu itu bisa terselesaikan dengan baik, dengan kedua belah pihak sama-sama puas.

Lingkungan adalah kunci

Setelah sekarang saya kembali ke masa-masa itu, selain masalah pribadi masing-masing, lingkungan juga berperan besar dalam mempengaruhi kondisi psikologi kita. Secara pribadi, dulu memang saya cenderung suka living in fears, tapi tidak sampai ke tahap khawatir dan obsesi yang berlebihan. Hanya saja, di era ketika saya menjadi toxic saat itu, di saat yang sama saya sedang berada di dalam lingkungan pergaulan (dan sebagian lingkungan pekerjaan) yang toxic.

Baca juga  Fakta Pahit Pernikahan yang Tidak Pernah Dikatakan: Benar kah?

Lingkungan pergaulan yang toxic tersebut membuat saya semakin merasa ketakutan dan khawatir, yang akhirnya membuat saya semakin tertekan dan menjadi toxic. Sayangnya, itu terbawa ke dalam rumah tangga saya.

Semenjak saya belajar pasrah, pada saat yang sama saya juga melepaskan ikatan dengan beberapa lingkungan yang cukup “mengekang” dan orang-orang yang memberikan “tekanan”, dan semenjak saat itulah saya merasakan perasaan “relieve” yang luar biasa menenangkan.

Saya jadi bisa melihat mana yang sebenernya bener-bener keinginan saya, dan mana yang sebenernya adalah mindset yang terbentuk karena saya masuk dalam lingkungan yang toxic. Sejak saat itu, saya mulai bisa menyusun kembali prioritas hidup dan benar-benar meninggalkan hal-hal dan lingkungan yang ngga menjadi prioritas. And everything goes well now…

Take Home Messages

Saya adalah a firm believer kalau segala sesuatu itu kembali pada diri kita sendiri. Ketika kita dapat pasangan yang jahat, yang toxic, coba kita lihat dari diri sendiri, apakah kita yang meng-inflict ke-toxic-an itu, apakah kita pribadi yang jahat. Kalau suami kita cuek, coba introspeksi diri dulu apakah kita cukup memberikan perhatian ke suami.

Dulu waktu masih kelahi, saya bertanya-tanya, apakah yang salah dari diri saya sehingga dapat pasangan seperti suami saya. Setelah introspeksi diri, ternyata saya pun punya andil kenapa suami saya jadi orang yang menyebalkan seperti itu.

Bagaimana cara memperbaikinya? Kembali lagi pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Saya tidak pernah menyuruh suami untuk berubah. Tapi, ketika saya berproses memperbaiki diri, suami pun ikut memperbaiki dirinya. No need to remind anyone, just inspire them. Do the right thing for yourself, do not expect to change others.

Makanya, kalau kita sadar bahwa kita berada dalam lingkungan yang toxic, jangan diam dan bertahan. Kita tidak bisa merubah orang lain, hanya diri mereka sendiri yang bisa berubah. Kita memang tidak bisa merubah orang lain, tapi kita bisa merubah respon kita, dengan cara tidak diam dan bertahan.

Baca juga  Apa rasanya menelan ego? Manis!

Kalau kita memang ngga bisa keluar, at least tidak usah engage dengan lingkungan toxic itu. Karena lambat laun lingkungan itu akan mempengaruhi kita, disadari atau ngga. Dan sekalinya sudah menjadi toxic, kita bisa menjadi sumber toxic bagi orang lain disekitar kita.

Untuk teman-teman (dan keluarga saya sendiri) yang masih mencari pasangan, konsentrasi aja ke diri sendiri, bagaimana menjadi diri sendiri yang mengerti keinginan sendiri, menjadi versi terbaik diri sendiri. Karena kita akan meng-attract orang-orang yang seperti cerminan kita. Kalau sampai sekarang Tuhan belum kasih jodoh, bisa jadi karena Tuhan menjaga kita dari orang jahat, karena kita masih belum bisa meng-attract orang-orang baik, alias mungkin kita belum menjadi versi terbaik diri kita.

Gimana menurut teman-teman? Ada yang punya pengalaman serupa?

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *