Sebelum membaca posting ini, harap untuk tidak suudzon dulu ya hehe. Ada cerita dibalik kenapa akhirnya saya memutuskan untuk mencoba dating apps, dan itu bukan untuk “mencari pasangan”. Tapi, dari pengalaman ini, saya mendapat sebuah pencerahan yang membantu saya survive dengan “kegilaan” masa S3 saya saat itu, yang itu bukan soal cinta.

Outside Looking In: A new perspective

Saya sudah sering bercerita petualangan sedih saya selama studi S3, termasuk titik-titik dimana udah mirip gejala depresi. Seperti yang saya ceritakan di sini, ada beberapa hal yang menurut saya membantu saya cope with the situation. Salah satunya dengan ngobrol sama orang lain yang itu bukan dari lingkungan kita, yang bisa membawa perspektif baru.

Kala itu saya merasakan betul bahwa saya butuh teman bicara, tapi entah kenapa saya enggan banget bicara dengan teman satu lab dan teman PPI yang sudah saya anggap keluarga, maupun keluarga saya sendiri. Karena saya merasa tidak ingin dihakimi (seperti saya ceritakan sebelumnya). Jadilah saya mencoba mencari “teman ngobrol” sendiri.

Saya ingat salah satu teman saya (orang Indonesia) di Jepang pernah mengambil pekerjaan part-time sebagai teman bicara, dimana ia dibayar untuk mendengarkan cerita orang lain (sambil sesekali kasih opininya ke klien tersebut). Inilah bantuan yang saya butuhkan, pikir saya kala itu. Sayangnya, “menyewa” teman bicara tidaklah murah.

Sampai suatu hari saya ngobrol dengan teman saya, sebut saja namanya K, seorang mahasiswa Jepang yang dulu pernah tinggal di Indonesia selama satu tahun dan sering ikut festival budaya Indonesia yang diselenggarakan anak-anak PPI. Si K ini bercerita bahwa dia kerap menggunakan dating-apps bertajuk T di Indonesia, dan dari aplikasi tersebut dia berkenalan dengan berbagai macam orang, dan salah satunya menjadi pacar dia di Indonesia.

Saya dan si K. Karena saya belum ijin masukin gambar ini, jadi saya blur dulu muka si K. Tapi kayanya foto yang sama ada di IG sih hahaha

Cerita tersebut dan si K-lah yang kemudian membuat saya berpikir, ding-dong! Dating apps adalah salah satu cara di mana saya bisa menemukan “teman bicara” yang gratis dan tidak judgmental, yang bisa menjadi sumber perspektif baru, outside looking-in. Dan ide ini didorong oleh si K, so I thought, why not?

Situasi Dating Apps di Jepang

Jepang punya dating apps sendiri. Jaman saya dulu, yang terkenal adalah aplikasi P. Meskipun terkenal, aplikasi itu masih sangat-sangat ‘sepi’ (kalo sekarang sudah ada lebih banyak lagi aplikasi selain si P itu dan sudah “rame”!).

Walaupun memiliki aplikasi sendiri, aplikasi dari Amerika seperti aplikasi T, B, dan semacamnya juga laris dipakai di Jepang. Terutama bagi warga Jepang yang bilingual atau memang “gaijin hunter” (populasi manusia di Jepang yang sengaja mengincar orang asing–kulit putih–untuk keuntungan mereka).

Saat itu, saya mencoba baik aplikasi T yang sudah tersohor itu, dan aplikasi P juga, supaya ada perbedaan perspektif. Karena kedua aplikasi ini ternyata memiliki profil pemakai yang sangat berbeda. Aplikasi P umumnya diisi lebih banyak orang-orang Jepang konservatif yang benar-benar mencari pasangan menikah (karena pekerjaan, range gaji, preferensi berkeluarga juga menjadi syarat informasi profil mereka. Umumnya, para pemakai app P ini punya pola pikir dan cerita kehidupan yang “Jepang banget”.

Baca juga  Apa bedanya brand fashion Jepang Uniqlo vs GU? A Guide for Jastip Lover

Sementara, aplikasi T ini “Amerika banget”. Tipe orang-orangnya lebih variatif, banyak orang asing, dan mostly bergaya open minded, selain bilingual. Orang-orang di aplikasi T ini umumnya lebih easy going dan easy to talk to.

Can you find the “right people”?

Sebelum saya menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut, saya sudah melakukan “riset” terlebih dahulu tentang do and don’ts, sampe ke what to expect. Saya juga memiliki misi yang jelas, bahwa saya ngga akan merisaukan orang-orang “aneh” dengan ajakan-ajakan aneh yang ngga sesuai tujuan dan ekspektasi saya, yaitu mencari teman bicara. Jadi, menurut saya, ngga sulit mencari orang yang tepat.

Tahun 2017 ketika saya mulai membuat akun, sudah banyak sekali orang Jepang yang memakai aplikasi T ini. Beberapa memang bilingual (ketika di chat), beberapa tidak (biasanya saya berhenti ngobrol di tengah-tengah karena capek pake bahasa Jepang full). Tapi, kalau di aplikasi P, biasanya orang akan langsung berhenti ngechat kalau tau kita tidak mau berbahasa Jepang (well, it’s a local app).

Ketemu apa di aplikasi? Orang brengsek? Banyak. Biasanya ngechat langsung ngajak-ngajak ketemuan di apartemen atau langsung dengan jelas ngajak berbuat haram (well, ini udah jelas sih). Yang begini sih langsung cuekin aja. Bule? Yang ganteng banyak, tapi mereka bukan teman bicara (mereka teman ngeclub). Tapi, yang mengejutkan, orang baik yang benar-benar cuma cari temen bicara juga ada.

Biasanya, karakteristik orang Jepang juga tergambar jelas dari foto profile aplikasi T mereka. Kalau mereka memasang foto mereka di paling depan, diikuti foto makanan favorit, olahraga/aktifitas favorit, hobby, dan ditutup foto mereka sendiri, pasti orangnya konservatif. Biasanya yang seperti ini tu orangnya sangat beradab, tidak aneh-aneh, dan masih berbudaya ketimuran. Karena cara memasang foto dengan urutan seperti itu tuh ternyata “manner”-nya orang Jepang. Tapi, kalau pasang fotonya selfie semua (narsistic), apalagi yang tidak memasang foto personal atau memasang foto random, biasanya agak bahaya.

Pengalaman saya, yang ganteng-ganteng biasanya too good to be true. Bukan pendengar yang baik, dan biasanya “buaya” atau narsis atau self-centered. Jadi, biasanya saya tidak menilai dari wajahnya. Dan ini beneran kelihatan dari profil dan fotonya.

Sementara, kalau aplikasi P, mau fotonya aneh atau normal, biasanya orangnya masih beradab dan tidak aneh-aneh. Mereka cenderung menganggap aplikasi P itu sebagai pengganti “omiai” atau perjodohan ala Jepang. Belum banyak yang menggunakan aplikasi semacam itu untuk mencari “mangsa cinta satu malam”. Dan kalau ada laki-laki yang menge-chat kita (sebagai perempuan) biasanya tidak main-main, karena rupanya untuk bisa mengechat perempuan, pihak laki-laki harus bayar, sementara pihak perempuan tidak dipungut biaya.

Baca juga  The Perks of Living in Fear

Bukan Pacar tapi Teman Bicara

Aplikasi T adalah aplikasi yang pertama saya coba. Karena sudah punya misi dan guideline untuk menghindari predator, akhirnya saya pun berhasil menyisir orang-orang brengsek dan menemukan hidden gem diantara mereka.

Dari aplikasi tersebut saya bertemu dengan orang-orang yang memang enak diajak bicara. Orang pertama yang paling berkesan bagi saya adalah seorang salaryman yang bekerja di perusahaan makanan Del Monte di Jepang, sebut saja dia si O.

Dari si O ini saya banyak mendapat cerita tentang kehidupan salaryman Jepang. Tentang “bekerja” dalam konteks kehidupan orang Jepang. Cukup lama saya ngobrol via chat dengan si O ini, selama itulah saya merasa terhibur. Cara dia menceritakan kehidupan dan struggle-nya menjadi seorang salary-man sedikit banyak membuat saya merasa lebih familiar dengan struggle kehidupan di Jepang. Bahwa hidup di Jepang memang lah keras. Apa yang saya hadapi adalah kenyataan sehari-hari and I was doing good, actually.

Setelah ngobrol sebulan lebih, akhirnya saya pun ketemuan dengan si O. Tapi, sekali lagi jangan suudzon ya, kami murni cuma ngobrol. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, saya sudah memasang berbagai strategi: hanya mau ketemu di siang hari, hanya mau ketemu di tempat yang SAYA TENTUKAN (tempat yang saya familiar banget, ngga mungkin ketipu), dan saya selalu bawa chaperon saya, yaitu si K, yang selalu ikut duduk di kafe yang sama, tapi di tempat yang agak jauh, supaya bisa memantau dan siap mengintervensi kalau saya kirim kode SOS.

Foto dari si O yang diam-diam saya ambil dan saya kirim ke si K untuk “jaga-jaga” kalau-kalau saya diculik hahahah. But it turns out to be safe.

Selama 3-4 bulan saya pernah beberapa kali ngafe dan makan bareng sama si O. Sampai-sampai saya dijuluki “T mania” oleh temen-temen lab gara-gara mereka tahu saya pake aplikasi itu dan nekat ketemuan dengan orang dari aplikasi itu (that was the reason why I avoid talking to friends at that time 🙁 ). Sayangnya si O pindah ke Tokyo beberapa bulan kemudian, dan akhirnya kami berhenti ngobrol.

Dari aplikasi T, saya juga pernah ngobrol dengan seorang salaryman yang bekerja di sebuah perusahaan kimia di prefektur Hyogo, sebut saja Kz. Si Kz ini sangat respek ke saya karena dia juga bekerja di dalam lab dan mengerti betul beratnya kerja di dalam lab. Menurut dia, effort saya luar biasa, dan tidak perlu bersedih kalau effort kita belum dihargai. Menjadi seorang pelajar yang belajar di negara asing adalah sesuatu yang keren, yang mestinya saya bangga. Dari si Kz ini saya belajar untuk lebih menghargai usaha saya sendiri.

Si Kz ini juga yang membantu saya mengerti bahwa kehidupan lab di Jepang kurang lebih seperti itu, keras. Si Kz juga bercerita bagaimana dia struggle dengan atasannya, yang ini membuka mata saya tentang bagaimana menghadapi “atasan” di dalam lab.

Saya ketemu si Kz ini cuma sekali. Dia memperkenalkan saya ke warung soba tradisional Jepang yang sangat menarik. Dia juga yang memperkenalkan kebiasaan ngafe setelah makan siang di Jepang dan menceritakan kafe-kafe “oshare”, alias kafe kekinian. Sayangnya, kami ngga pernah ngobrol lagi setelah saya ketemu orang ketiga.

Baca juga  Rekomendasi Drugstore di Jepang ala IndyRin: Untuk pecinta skincare dan kosmetik Jepang!

Orang ketiga yang saya temui dari aplikasi T ini adalah seorang guru yang saya bahkan ngga ingat namanya, tapi kita sebut saja M. Si M ini adalah seorang salaryman di Tokyo yang resign dari posisinya dan kembali ke kampung halaman untuk bekerja sebagai guru tutor untuk anak SMA.

Dari si M ini saya belajar bahwa ketika mentok sama kerjaan, it’s not the end of the world. Kalau bener-bener mentok, ya berhenti saja dan cari yang lain. Orang yang pintar dan cerdas pasti dapat menemukan pekerjaan lain atau bahkan membuat pekerjaan nantinya. Ini yang membuat saya bangkit kembali.

Walaupun saya tidak lagi mau komunikasi dengan si M setelah ketemu langsung dengan orangnya, dan ternyata orangnya perokok berat plus memiliki kecenderungan narsistik yang kuat (which is a red flag for me).

Dari aplikasi P saya ngobrol dengan dua orang berbeda tapi tidak pernah ketemuan. Seorang realtor dan seorang guru SMA. Si realtor ini penghasilannya tinggi dan sangat komedik, ngobrol via chat dengan realtor ini sangat menghibur, membuat saya terpacu belajar bahasa Jepang sekaligus menghilangkan stres. Tapi, tidak berlangsung lama karena saya tidak kuat terus-terusan menulis kanji. Sementara dari si guru SMA saya mendengar banyak cerita menarik, termasuk bullying pada guru, sayangnya, saya tidak lanjut ngobrol dengan si guru karena di saat yang bersamaan, saya mulai ngobrol dengan suami.

At The End of The Day

Beberapa orang yang tau cerita ini mengatakan saya gila, nekat, bodoh, dan mempertanyakan saya. But, for me, it’s a survival thing. Either this, or a complete breakdown. So, I chose this. Beruntungnya, saya mendapatkan apa yang saya butuhkan, sebuah dorongan moral, tanpa harus terjerumus ke hal-hal yang negatif. And it works.

Menurut saya, dating apps juga bukan sesuatu yang negatif, karena kembali lagi ke pemakainya. Predator di luar sana tentu saja ada, tapi, bisa di-mitigasi. Khusus di Jepang, ada pola-pola yang bisa membantu kita menemukan “orang yang tepat” (meskipun jaman sekarang mungkin akan lebih sulit ketimbang tahun 2017 dulu).

Khusus dating apps Jepang, sekarang macamnya ada banyak, dan beberapa memiliki format yang cukup serius untuk yang mencari pasangan. Buat yang beneran mencari pasangan, mungkin bisa pakai yang “serius”.

But at the end of the day, ngobrol dengan orang yang berada di luar lingkungan kita terkadang memberi perspektif yang baru, yang segar, yang bisa membuat kita lebih memahami situasi. Itulah sebabnya, saya highly recommend teman-teman untuk ngobrol sama orang luar (yang bisa dipercaya) ketika merasa stuck. Kalau memang sulit untuk keluar dari lingkungan itu, psikolog atau psikiatri bisa menjadi “orang ketiga” yang bisa memberikan perspektif baru (ini bukan endorse lho!).

Kalau tertarik, saya bisa cerita lebih detil lagi tentang aplikasi tersebut, tips and trick lengkap, sampai ke budaya kopi darat di Jepang. Tulis di komentar kalau ada topik yang menurut temen-temen menarik untuk di bahas ya!

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *