Ada penggemar film bertema sejarah? Terutama sejarah kerajaan jaman dulu? Kalau iya, berarti the Empress dan Queen Charlotte: A Bridgerton Story bisa jadi pilihan tontonan yang oke. Dua drama yang dibuat berdasarkan real historical character dari dua negara Jerman dan Inggris. But, sadar ngga sih kalau kedua drama ini punya beberapa kesamaan?
Yuk, sambil ngereview kedua drama kerajaan menarik ini, sambil saya kasih sedikit bocoran tentang bagaimana dua cerita dari dua negara berbeda ini memiliki kesamaan yang menarik.
Here we go!
Table of Contents
The Young and Rebel Queen
Kisah the Empress berawal dari seorang Bavarian Duchess bernama Elizabeth ‘Sisi’ dari Austria yang rebel banget. Saking rebelnya, dia melarikan diri ketika akan dijodohkan. Alih-alih menikah dengan orang yang dijodohkan, Elizabeth akhirnya justru jatuh cinta dengan seorang raja, Emperor Franz Joseph, yang tadinya akan dijodohkan dengan adiknya. Rebel banget, bukan?
Setelah menikah, banyak sekali permasalahan yang dihadapi Elizabeth, termasuk tuntutan dari keluarga kerajaan, terutama ibu mertuanya. Belum lagi banyaknya larangan-larangan yang membuatnya kehilangan kebebasan. Meskipun Elizabeth dan Franz saling mencintai, tapi drama per-politikan dan aroma cemburu menjadi kerikil dalam kisah hidup mereka.
Ditambah lagi sisi ‘rebel’ dari Elizabeth dan kebaikan hatinya yang justru membuat masalah di lingkungan kerajaan, membuat hubungan percintaannya dengan sang raja jadi terombang-ambing. Apalagi dengan kehadiran Maximillian, adik Franz, yang menambah drama dalam kehidupan istana.
Setali tiga uang, Princess Charlotte, dalam serial Queen Charlotte ini juga seorang German princess yang diangkat dari seorang tokoh bernama Charlotte of Mecklenburg-Strelitz. Dirinya dijodohkan dengan seorang raja Inggris muda, King George III. Merasa tidak mengenal sang calon suami, Charlotte sempat ingin kabur di hari pernikahannya, sebelum akhirnya bertemu dengan sang raja ketika akan kabur dan justru memutuskan untuk melanjutkan pernikahannya.
Sayangnya, pernikahannya tidak seindah bayangannya, sebab King George memiliki sebuah rahasia yang membuat pernikahan mereka tidak seindah itu. Belum lagi tuntutan dari keluarga kerajaan, termasuk ibu mertuanya yang menuntut untuk keduanya segera memiliki penerus tahta kerajaan.
Untungnya, Queen Charlotte ini punya karakter yang cukup “rebel” yang membuat dia berani membuat keputusan besar yang menentang segala kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungan istana, termasuk menentang ibu mertuanya sendiri. Apalagi dirinya diceritakan sebagai seorang ratu kulit hitam pertama dalam sejarah kerajaan tersebut, yang merubah banyak pandangan orang tentang ras dan warna kulit.
Women Above Men
Buat yang ngikutin serial Bridgerton pasti familiar dengan karakter-karakter perempuan “seterong” seperti Daphne, Eloise, Lady Danburry, dan juga Queen Charlotte itu sendiri. Mereka digambarkan sebagai perempuan yang “bisa berdikari” tanpa laki-laki.
Memang, Shonda Rhimes (produser Bridgerton dan kreator Queen Charlotte) dan Julia Quinn (penulis novel Bridgerton) punya visi yang hampir sama yaitu mengangkat sebuah drama dari era dimana gender equality masih belum ada, tapi dari kacamata perempuan. Some says it’s a feminist show, but some says it’s “not quite feminist”.
Di serial Queen Charlotte pun juga sama. Drama Queen Charlotte berfokus pada perkembangan Princess Charlotte menjadi seorang Queen Charlotte yang lebih kuat dari pada sang Raja yang memiliki “masalah” tersebut. Bahkan, yang nonton Bridgerton pasti juga tau, kalau Queen Charlotte ini yang “mengatur” kerajaan, bukan sang raja. Seterong, bukan?
Hal yang sama juga terlihat dari drama the Empress, di mana Elizabeth digambarkan memiliki peran politis yang berpengaruh. Namun, karena dirinya yang merupakan seorang perempuan, peran politis tersebut justru menjadi sebuah liabilitas, juga kebaikan hati sang ratu yang justru menjadi bumerang politik bagi pihak kerajaan.
The romance
Baik the Empress dan Queen Charlotte sama-sama mengekspresikan romantisme dengan cara yang benar-benar romantis. Uniknya, keduanya menggambarkan romantisme dari sisi perempuan, jadi kesannya berbeda dari sekedar adegan-adegan romantis di film barat.
Karena kedua film ini mengambil POV dari karakter utamanya yang seorang perempuan, kita jadi lebih paham tentang pola pikir dan romantisme dalam pandangan seorang perempuan. Buat para pecinta drama romantis, sebenernya kedua drama ini sangatlah cocok.
Terutama buat mbak-mbak, ibu-ibu, dan gadis-gadis yang ingin melihat romansa yang kadang membuat termehek-mehek, the power of love, dan juga drama percintaan yang “too good to be true”, nah kedua drama ini wajib banget di tonton!
Overall: The Empress dan Queen Charlotte
Secara garis besar saya suka kedua drama ini. Apalagi gaun-gaun yang ditampilkan di drama ini cakep-cakep (terutama The Empress, style-nya modern banget and very chic) bikin betah nonton.
Tapi, setelah nonton keduanya, saya jadi berpikir ulang buat nonton drama ratu-ratu-an di era tersebut, karena kayaknya alurnya bakal mirip-mirip. Secara kehidupan di jaman tersebut ya gitu-gitu aja, termasuk romansa-nya.
Dan buat saya, cerita yang “too good to be true” kurang cocok, seperti di Queen Charlotte (walaupun drama ini akhirnya menjawab kenapa Queen Charlotte itu seterong banget di series Bridgerton). The Empress menurut saya agak sedikit lebih realistis, walaupun ya dramatis juga sih.
Jadi, saya sih menyarankan untuk nonton juga The Empress alias Die Kaiserin buat para penyuka Queen Charlotte. Karena, menurut saya The Empress selangkah lebih kece daripada Queen Charlotte.
Buat yang uda nonton keduanya, boleh dong share POV kalian di kolom komentar!
The Empress banyak adegan 18++nya ga, ndy?
hmm… kalau dibilang banyak sih ngga mba, tapi ada di beberapa episode ^^;