Semakin lama berjalan dalam biduk rumah tangga, semakin saya mengerti kualitas apa yang sebenarnya dibutuhkan bagi seseorang untuk menjalani hubungan atau relationship. Kebetulan, 2 minggu lalu saya nonton podcast Raditya Dika x dr. Jiemi Adrian, Sp.KJ, seorang psikiater tersohor yang juga membahas tentang hubungan antar manusia dan kunci penting di dalam hubungan tersebut.
Nah, ada 3 kunci penting yang ini menjadi the things you need to have relationship menurut saya yang juga dibahas dalam episode podcast tersebut. Kunci penting ini ngga hanya berguna untuk yang sedang menjalani hubungan atau relationship, tapi mungkin bisa jadi bahan renungan juga bagi yang merasa sulit membina hubungan.
Jadi, apa saja kualitas itu?
Being heard
Barang kali capek kali ya kalo denger kuncinya komunikasi? Tapi, nyatanya kebanyakan orang salah kaprah menganggap kalo urusan komunikasi itu cuma urusan “gimana cara ngomong/mengungkapkan”. Ngga banyak yang memahami bahwa komunikasi itu juga urusan “bagaimana supaya kita didengar”.
Secara definisi, komunikasi adalah sending and receiving message. Kalau kita bicara tapi yang diajak bicara “ngga paham” atau “ngga mau denger” ya sama aja.
Hal ini juga dibahas di podcast-nya Raditya Dika bareng dr. Jiemi. Pada pasangan yang “ribut”, ngga jarang salah satu dari pasangan itu mengaku bahwa dirinya sudah menjelaskan masalahnya secara panjang dan lebar, tapi pasangannya tetap “ngga ngerti”. Pertanyaannya, benarkah “ngga ngerti”? Jangan-jangan “ngga mau denger”?
Makanya, dr. Jiemi kemudian menyarankan bagi pasangan yang marah, untuk ngga bicara panjang-panjang, tapi singkat saja yang penting bisa dengan jelas menyampaikan 3 pesan penting: apa perasaan yang dirasakan, apa penyebabnya, dan apa harapannya.
Sama halnya dengan kita yang sedang menjalankan hubungan atau ingin menjalin hubungan. Jika ingin komunikasi berjalan lancar, maka belajarlah bicara dengan intensi untuk didengarkan. Kalau kita bicara dengan nada yang angkuh, atau merendahkan, atau terlalu emosional, atau terlalu takut-takut atau malu, apakah “bisa didengarkan”? Apakah “enak didengarkan”? Apakah “akan didengarkan”? Kalau tidak didengarkan, apakah pesan kemudian tersampaikan?
Jika kita akan mengutarakan hal yang penting, atau hal yang krusial, coba pertimbangkan untuk membuat suasana lebih positif, sehingga pesan yang kita sampaikan lebih “didengar”. Misalnya, kalau kita mau menyampaikan pesan yang romantis, ya jangan dibuat suasananya tegang atau terlalu emosional, orang akan males mendengarnya.
Buat saya pribadi, yang punya pasangan beda kewarganegaraan, beda bahasa, dan beda budaya, ini menjadi poin yang penting. Karena bicara dengan memaksakan budaya Indonesia (ngomong cerewet panjang lebar, misalnya) hanya sedikit yang kemudian “didengar”. Kita pun perlu menyesuaikan dengan kondisi lawan yang diajak bicara.
Ngga jarang saya membicarakan hal-hal yang penting justru di momen liburan, di mana suasananya nyaman, waktu untuk ngobrol lebih banyak, dan biasanya perasaan lebih gembira, jadi ngga kebawa-bawa emosi. Dengan begitu, pesan yang disampaikan jadi lebih mudah untuk “didengar”. Ada yang kayak gitu juga nggak?
Have Empathy
Sewaktu menjalani pendidikan S1 kedokteran, saya sering sekali diingatkan oleh para guru-guru saya untuk selalu memiliki empati, bukan simpati. Apa bedanya?
Saya pinjam istilah dari website The Medic Portal yang menurut saya menjelaskan kedua hal ini dengan cukup simpel dan mudah dimengerti. Empati adalah perilaku aktif seseorang untuk memahami perasaan orang lain dengan melihat persoalan dari sudut pandang orang lain, sehingga seseorang dapat memahami perspektif orang lain. Sementara simpati berarti merasakan perasaan sedih yang dirasakan orang lain, tanpa melibatkan perasaannya sendiri.
Seseorang ngga akan bisa memiliki empati kalau mereka ngga berusaha menjadi pendengar yang baik, merespon dan meng-acknowledge perasaan orang lain, memahami bahasa verbal maupun non-verbal, hingga memiliki persepsi tentang perasaan orang lain. Semua kualitas ini adalah kualitas yang penting dalam membina hubungan. Jadi, orang yang punya empati yang baik, pasti tidak punya masalah dalam membina atau memulai hubungan dengan orang lain.
Masalahnya, belajar atau melatih empati itu tidak mudah, makanya 6 tahun saya sekolah S1 kedokteran selalu diingatkan untuk belajar empati, empati, dan empati. Bahkan, di dalam podcast Raditya Dika x dr. Jiemi Adrian, masalah empati ini pun juga masih diangkat, saking ini penting dan masih jadi problematika pribadi banyak orang di muka bumi ternyata.
Banyak orang yang kemudian merasa sudah berempati, tapi sebenarnya terjebak dalam simpati. Biasanya karena terlalu kuat dalam point of view-nya sendiri, sehingga sulit memahami sesuatu yang di luar dirinya, atau bahasa kerennya self-centered. And believe me, self-centered is one of the ticking bomb in relationship that you SHOULD GET RID OF!
Self-centered is one of the ticking bomb in relationship
Indy Rinastiti, 2024
Tapi, sulitnya adalah orang yang self-centered biasanya ngga sadar. Been there done that. Masalahnya, kita ngga bakal bisa jadi orang yang didengar, kalau kita tidak punya empati.
Basically, kita bakal sulit mengembangkan skill interpersonal lainnya kalau kita tidak punya empati. Ini semacam kemampuan dasar untuk kita memiliki hubungan dengan orang lain. Apalagi jika pasangan kita bukan dari latarbelakang budaya yang sama, empati fungsinya penting banget!
Be connected to yourself
Satu lagi poin penting yang saya setuju banget sewaktu dr. Jiemi menyampaikan dalam podcast: Untuk memiliki hubungan (interpersonal) yang baik, seseorang itu harus terlebih dahulu memiliki hubungan yang baik dengan diri sendiri.
Seperti apa hubungan baik dengan diri sendiri? Tidak merasa rendah diri (tapi juga tidak angkuh), merasa cukup (tidak kemaruk atau tamak), tidak merasa insecure, adalah beberapa contoh seseorang yang memiliki hubungan baik dengan diri sendiri.
Percaya ngga percaya, ketika kita ngga merasa diri kita contented, ngga merasa percaya diri, ini akan tercermin dari bagaimana kita bertindak dan berkomunikasi, termasuk ke pasangan. Bayangin kalau kita pas lagi kucel banget, ngga pede, terus ketemu gebetan, pasti ngga mau nyapa atau ngobrol ama doi kan?
Sama halnya dalam hubungan rumahtangga, ketika kita insecure, komunikasi dalam rumahtangga pasti juga terganggu. Muncul rasa curiga, tidak percaya, yang ini tidak sehat untuk hubungan yang baik.
Lalu, gimana caranya membimbing hubungan yang baik dengan diri sendiri? Ini juga salah satu hal yang masih saya pelajari pelan-pelan. Saya percaya kita bisa mulai dari menghargai diri sendiri, mengobati trauma masa lalu, memaafkan, belajar untuk merasa cukup (tidak tamak), dan semacamnya.
Ada bermacam cara sebenernya, bahkan bermacam kursus untuk kita belajar memilliki hubungan yang baik dengan diri sendiri. Kita bahkan bisa konsultasi ke ahlinya, psikolog atau psikiater, jika kita membutuhkan bantuan. And that’s totally fine!
Sebenernya masih banyak hal yang menarik yang bisa dipelajari dari podcast Raditya Dika x dr. Jiemi, apalagi di bidang psikologi dan personal development, rekomen banget!
Yang jelas, buat saya, buat siapapun yang ada di dalam hubungan, dan buat siapapun yang ingin memulai hubungan serius, you got the key now!
