Ternyata ngga cuma manusia aja yang bisa trauma. Kucing pun ternyata juga bisa trauma. Kali ini saya mau cerita trauma kucing yang dialami kucing kesayangan keluarga saya, si Jeje.

Si Cantik Jeje dan saudaranya

Yang pernah baca post saya sebelumnya, di dalamnya ada foto si Jeje. Tapi, si Jeje masih terlihat kumel dan kurus. Yes, itu waktu si Jeje masih healing dari trauma-nya.

Jeje, aslinya dikasih nama CJ, karena waktu masih kecil mukanya lucu banget kayak karakter CJ7. Sekarang kami sekeluarga lebih suka memanggil dia Jiji atau Jeje.

Si Jeje kecil yang kepalanya mirip CJ7 lagi nyungsep ke dalam sepatu
CJ7 (source: pinterest.com)

Jeje ini lahir dari ibu keturunan Persia dan bapak kucing kampung biasa. Makanya, Jeje punya bulu yang panjang, sementara 2 saudaranya ada yang berbulu panjang, ada yang berbulu pendek.

Dari kecil, 3 kucing bersaudara ini punya karakter yang berbeda, si Jeje ini emang dari kecil anggun, cantik, dan ngga banyak polah. Sementara saudaranya Ume yang berbulu pendek ini lebih cerdas dan lincah untuk kucing betina. Kalau si Yoli, saudaranya yang jantan, sudah nakal, banyak tingkah, tapi gendut dan lucu.

Jeje yang paling manja

Si Jeje ini, kalo dibandingkan dengan sodaranya, lebih ngga banyak tingkah. Tapi dia bisa dibilang cukup manja sama manusia.

Tiga bersaudara, paling kiri: Yoli si Jantan yang gendut dan nakal, tengah si Ume yang cerdas dan lincah, paling kanan: CJ si cantik

Sebelum berangkat ke Jepang, saya sempat bekerja hampir setahun di Jogja. Saat itulah Jeje lahir, dan saat itulah momen saya sering menghabiskan waktu sama si Jeje.

Jeje ini bukan tipe kucing lincah yang suka diajak main loncat sana kemari. Tapi, yang saya notice adalah Jeje selalu manja dan senang diajak tidur bareng.

Di rumah keluarga saya ada kamar tamu yang terletak dibagian depan rumah. Karena jarang ada tamu, kamar tersebut sering kosong. Dan karena posisinya, kamar itu terasa lebih sejuk dibanding kamar lain. Karena itulah, kalau siang saya sering tidur siang di kamar itu, terutama sebelum jaga IGD shift malam.

Entah kenapa si Jeje hapal sekali tiap kali saya masuk kamar itu untuk tidur siang. Setiap saya masuk kamar itu Jeje selalu mengikuti.

Setiap saya mulai berbaring, dia pasti naik ke atas kasur. Sebisa mungkin dia naik ke atas badan saya dan tidur disitu. Kalau saya merasa keberatan, nanti dia akan pindah ke samping badan saya atau ke bagian kaki dan tidur sambil menyenderkan badannya ke badan saya.

Baca juga  Pelajaran Penting untuk Perempuan: Inspirasi dari Series "MAID" di Netflix

Bahkan di hari terakhir sebelum berangkat ke Jepang, saya sengaja menyempatkan waktu untuk tidur siang di kamar depan itu. Tentu saja dengan ditemani si Jeje yang asik melungker di dekat kaki saya.

Awal Trauma Kucing Jeje

Dulu, di rumah keluarga saya pernah hampir jadi peternakan kucing. Sempat kami punya 3 kucing betina dan 2 kucing jantan. Ada ibunya Jeje yang namanya Katy, Jeje, Ume, dan 2 pejantan, Yoli dan seekor kucing kampung yang sudah lama kami pelihara, Popon.

Tidak disangka, ketiga kucing betina itu, pada suatu titik, mereka hamil hampir bersamaan dan melahirkan diwaktu yang hampir bersamaan juga. Ngga tau bapaknya siapa.

Rekor kucing terbanyak yang kami pelihara adalah 12 ekor. Kala itu saya sudah tidak di Jogja, jadi yang mengurus ke-12 ekor kucing itu adalah kakak saya yang kadang dibantu papa saya.

Karena kakak saya sibuk dengan prakteknya sebagai dokter gigi, mengurus ke-12 ekor kucing itu benar-benar bikin kewalahan. Makan, tidur, dan poop, masih terurus baik, tapi soal jadwal grooming, dan memanjakan kucing sering kali kelewatan.

Dan, saat itulah Jeje mulai punya ketakutan yang aneh. Apalagi sejak punya anak, si Jeje jadi tidak mau dipegang. Anak-anaknya pun antara keurus dan tidak terurus.

Dia selalu lari dan bersembunyi ke tempat yang tidak bisa dijangkau manusia, seperti: dibalik kulkas, dikolong lemari yang jauh dari jangkauan tangan, dan tempat favoritnya adalah dibalik mesin cuci bekas yang tidak pernah dijamah oleh siapapun di keluarga saya.

Bahkan seringkali dia ditemukan sembunyi di gudang yang tidak seorang pun masuk ke sana.

Jeje hanya keluar untuk makan, minum, dan poop saja. Selebihnya dia bersembunyi di tempat-tempat yang bahkan keluarga saya tidak tahu lagi. Kalau setiap malam kucing-kucing lain tidur di kandang, si Jeje kadang tidak tahu tidur dimana di dalam rumah keluarga kami.

Perilaku itu terus menetap. Hingga anaknya Jeje ada yang mati dan ada yang diadopsi orang, si Jeje masih seperti itu. Sempat saya kembali ke Indonesia pada tahun 2017 dan 2019, dan saya melihat Jeje kumel, kotor, bau dan jauh berbeda dengan Jeje yang dulu selalu menemani saya tidur siang.

si Jeje tahun 2017. Kurus, kumel, dan ada luka scabies di wajahnya. Tapi entah kenapa dia mau dipanggil. Hanya satu kali itu dan langsung saya foto di foto ini.

Karena Jeje yang tidak terawat, suatu saat Jeje pernah menjadi sumber penularan scabies diantara kucing-kucing di rumah kami. Untung bisa diberantas scabies-nya waktu itu.

Baca juga  Melepas attachment dalam minimalism: sebuah tantangan

Bahkan suatu hari Jeje pernah ditemukan di dalam persembunyiannya dalam kondisi berdarah-darah. Ternyata, kata dokter hewan, rahangnya patah, dan keluarga saya tidak ada yang tahu kenapa.

Entah apa yang sebenernya terjadi sama Jeje, kami sekeluarga tidak tahu. Kenapa dia bisa trauma sama manusia yang memelihara, dan kenapa dia bisa patah rahang, masih menjadi misteri.

Bagaimana Trauma Kucing Hilang?

Ketika saya pulang dari Jepang, kondisi Jeje masih kurang lebih sama. Dia masih sering bersembunyi dibalik mesin cuci yang hendak dibuang itu. Masih kumel dan bau.

Karena ada saya yang waktu itu masih menganggur sepulang dari Jepang, saya berinisiatif untuk menutup semua kolong-kolong lemari dan tempat-tempat potensial untuk Jeje bersembunyi. Supaya si Jeje mau keluar.

Tiap kali Jeje keliatan kabur bersembunyi, atau setiap jam makan kucing, saya ikutin si Jeje dan saya panggil-panggil namanya. Kadang saya tarik dan paksa dia keluar. Setelah keluar, Jeje saya elus-elus. “Jeje sahabatku”, begitu saya sebut-sebut terus.

Setelah kurang lebih 2 bulan usaha konsisten, akhirnya Jeje mulai menyerah. Dia ngga lagi sembunyi di tempat-tempat yang sulit. Paling sembunyi di bawah kolong meja atau kursi yang mudah digapai.

Lambat laun dia mulai mau keluar jika dipanggil waktu jadwalnya makan. Karena sering saya paksa keluar dan sering saya elus-elus, lama-lama dia seperti “teringat lagi” dengan saya, teman tidurnya.

Si Jeje yang akhirnya datang dan “mengintip” saya setelah saya panggil-panggil. Masih kurus, bulunya lusuh dan kumel. Mukanya keliatan sayu, tapi saya senang dia mulai mendekat.

Suatu titik saya lihat Jeje tidak lagi bersembunyi, kalau dipanggil dia sudah melihat ke arah yang memanggil. Bahkan kadang dia penasaran dengan yang memanggil, dan mendekat. Sudah mau di elus. Di situ saya merasa senang, akhirnya Jeje mengenali saya lagi.

Ketika Jeje sudah lebih tenang, akhirnya kakak saya membawa si Jeje ke dokter hewan untuk pengobatan dan grooming lengkap untuk bulu-bulunya yang sudah jelek itu.

Jeje dengan kulit punggungnya yang terekspose

Akhirnya si Jeje di grooming lengkap dan bulu punggungnya digunduli karena bulunya menggumpal, banyak jamur dan kutu waktu itu. Oleh dokter, selain diberi obat jamur, obat kutu, si Jeje juga diberi vitamin dan vitamin penumbuh bulu.

Karena sudah bersih menyeluruh, akhirnya saya coba ajak si Jeje untuk tidur siang bersama. Walaupun bukan di kamar depan kesukaan kami, tapi ternyata si Jeje merespon.

Baca juga  Perempuan dan Perpisahan: Tantangan dalam Hidup Minimalis

Si Jeje dengan bahagianya naik ke atas kasur tempat saya berbaring, dia mengambil posisi di samping saya dan menggeliat gemas. Habis itu dia pindah ke area kaki saya dan tidur sambil berlendetan kaki saya. Sesekali dia mencakar-cakar gemas kaki saya, yang menurut pakar kucing, itu artinya dia sayang saya dan dia merasa nyaman.

Tidur nyenyak sambil ngelendet di kaki saya
Tidur nyenyak banget

Sampai akhirnya si Jeje tertidur pulas di kaki saya. Persis seperti Jeje sebelum saya tinggal ke Jepang.

Dan, Inilah Jeje Sekarang

Sekarang si Jeje sudah cantik sekali. Entah karena vitamin dari dokter, atau karena dia disayang dan semakin sering di grooming, bulunya tumbuh cantik, ngga lagi menggumpal, kumel, apalagi bau.

Dia ngga lagi bersembunyi, walaupun kadang sering tidur dibawah kursi santai di ruang keluarga kami, ada kalanya dia duduk santai justru diatas sofa didepan TV.

Transformasi si Jeje, dari gambar 1 (paling kiri) sampe gambar 5 (paling kanan)
1: Jeje habis ke dokter pertama kali, masih keliatan tirus, kumel, tapi sudah mulai manja, 2: jeje habis di trim rambutnya dan di grooming, 3: Jeje makin manja; 4: Buntut Jeje digundulin sekalian di treatment biar jamurnya hilang, 5: Jeje sekarang, badannya berisi, bulunya cantik dan fluffy, makin manja sama orang rumah

Setiap dipanggil makan dia selalu keluar dan makan bareng saudara-saudaranya. Makannya juga cukup banyak meskipun rahangnya agak miring karena pernah patah dulu.

Setiap siang atau malam, Jeje selalu senang diajak tidur bareng dengan kakak saya atau dengan saya. Bahkan kadang kami menemukan Jeje “protes” kalau ngga diajak masuk kamar.

Uniknya, sejak Jeje sering kami elus, kami ajak tidur bareng, dia jadi lebih senang diajak main. Jeje yang tadinya tidak begitu suka main, tiba-tiba jadi senang mengejar-ngejar obyek tertentu. Dia jadi lincah seperti anak kucing, padahal usianya sudah mau 7 tahun.

Kata Kakak saya, sejak saya pulang ke Indonesia, ini adalah perkembangan Jeje yang paling pesat. Dari si Jeje kumel, sampe jadi cantik. Menurut kakak saya, mungkin si Jeje ingat sama saya, sahabatnya. Dan dia senang kembali dimanja seperti dulu.

Trauma kucing itu sudah tidak ada lagi.

Kesimpulan

Dari pengalaman ini, saya sadar. Kucing sama halnya manusia, punya perasaan juga. Sama seperti manusia, ada juga trauma kucing.

Mungkin dulu Jeje trauma karena melahirkan, atau mungkin karena di steril, tapi kemudian ngga ada orang yang sempat memanjakan dia seperti dia dulu.

Begitu diberi kasih sayang, dimajakan, dia jadi kembali bahagia. Dia lupa sama traumanya, dia ingat dengan orang-orang yang menyayangi dia, dan sekarang hidup semakin bahagia.

Sama seperti manusia. Kadang orang yang sedang mengalami trauma butuh disayangi, butuh didengar dan diperhatikan.

Kini, kucing di rumah kami hanya tinggal 4, si Jeje dan kedua saudara kandungnya, dan seorang saudara satu ibu lain bapak. Keempatnya sudah usia 6-7 tahun. Semoga keempatnya berumur panjang sampai lebih dari 10 tahun!

Share this post

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *