Pernah merasa iri dengan pencapaian orang lain? Pernah. Tapi, hidup saya berubah setelah saya sadar bahwa merubah rasa iri menjadi energi lain, bisa membantu kita untuk mencapai cita-cita.

Ketidakpuasan setelah lulus S3

Setelah menyelesaikan S3 saya di Jepang, saya sempat merasa galau, merasa ngga ngerti harus ngapain, harus kerja apa. Saya sempat merasakan yang namanya impostor syndrome (bahkan mulai punya gejala anxiety juga).

Sebagai lulusan S3, saya merasa gagal jika tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang wow, keren, dan bergaji besar. Yes, you heard me. Meskipun kamu punya gelar S3, tidak mudah menemukan pekerjaan di Indonesia, selain pekerjaan akademis yang, semua tahu sendiri, imbal baliknya sangat kecil dan kurang wow.

Saat itulah saya mulai punya perasaan iri yang besar terhadap teman-teman saya yang sudah bekerja. Apalagi yang pekerjaannya wow dan keren. Yang sudah memiliki pekerjaan stabil. Yang sudah memiliki gaji besar. Yang sudah berada di puncak tangga kesuksesan. Bahkan ada yang sukses berkarir di luar negeri. (Trust me, 30s is the era of identity crisis as an adult)

Ada momen di mana saya merasa iri dan iriiii sekali sampai tidak mau membuka sosial media. Iri sekali sampai saya membenci diri saya sendiri. Membenci kenyataan bahwa S3 saya ngga berguna. Usaha untuk survive di S3 ngga ada apa-apanya dibanding dunia kerja. Benci dengan kenyataan bahwa selama S3 saya sama sekali tidak punya prestasi gemilang, sehingga sulit mendapatkan tawaran kerja. Intinya, seakan membenci diri sendiri karena tidak bisa seperti mereka.

Menurut saya, saat itu adalah era yang cukup kelam. Tapi semua berubah ketika saya kepikiran satu hal.

Kok sempet-sempetnya saya mikirin orang lain sampai sebegitu terbawa? Sampai sebegitu irinya. Kalau saya punya waktu dan energi untuk merasa iri dan dongkol, kenapa ngga saya pake aja waktu dan energi itu untuk mengejar hal yang saya iriin tersebut?

Titik balik dan energi bangkit

Setelah kepikiran itu, saya coba pelan-pelan untuk mengalihkan perhatian setiap ke-trigger ketika liat postingan temen-temen yang saya iriin itu. Setiap kali ke-trigger, saya langsung tutup sosmed dan beralih ke aktifitas lain, misalnya buka pengumuman lowongan kerja, dan mulai menyusun strategi.

Baca juga  Melepas attachment dalam minimalism: sebuah tantangan

Ke-trigger pertama, saya mulai cari-cari job offer yang sesuai dengan yang saya idam-idamkan, yang saya iri-iri-kan, yang mirip dengan teman saya itu. Ke-trigger kedua, saya mulai belajar menyusun CV. Ke-trigger berikut-berikutnya saya mulai belajar menyusun cover letter, mencari surat rekomendasi, dan begitu seterusnya. Kalo ke-trigger lagi, selanjutnya saya coba alihkan energi itu untuk coba networking.

Perjalanan itu tidak mudah. Makan waktu berbulan-bulan. Tapi, semakin saya tenggelam dalam petualangan “menggapai idaman” saya, semakin saya lupa dengan rasa iri tersebut. Saya malah makin semangat mengoleksi skill baru dari hasil “mengalihkan perhatian” dari rasa iri itu tadi. Rasanya, semakin saya iri, malah jadi semakin semangat untuk mengejar yang diirikan itu. No negative mindset.

Akhir tidak terduga

Ketika saya sudah siap untuk melamar pekerjaan yang saya idam-idamkan, ternyata saya justru mendapat tawaran yang lain. Serunya, tawaran ini justru hampir sama dengan si teman yang saya iri-iri-kan tersebut.

Terlebih lagi, saya dapatkan tawaran ini justru dengan effort yang paling minimal. Bukan berarti saya merasa effort saya sia-sia untuk mengejar pekerjaan yang saya idam-idamkan tersebut, justru kalau saya tidak mati-matian mengejar pekerjaan idaman itu, saya bakal masih terkungkum dalam rasa iri dan malah ngga bergerak sama sekali. Kalau saya tidak keluar effort, energi saya cuma akan habis mengidam-idamkan kehidupan orang lain, dan tawaran yang baru ini juga tidak akan datang.

Kata orang, sukses adalah a result of being ready and prepared when opportunities arise. Tawaran yang saya dapatkan adalah peluang yang memang datang ketika saya sudah siap betul. Kalau kita tidak siap, maka peluang yang datang pun tidak akan menjadi kesuksesan buat kita.

Baca juga  Kita Mengikuti Mimpi, atau Mimpi Mengikuti Kita?

Hasil akhirnya? Yes, I am happy, I am content. I litterally got what I want, what I dreamed of. What I thought was never mine. Pada akhirnya bukan kita yang mengejar mimpi, tapi mimpi mengikuti kita yang sudah siap menerima mimpi tersebut.

PS. Maaf kalau ceritanya ngga bisa terlalu detil di bagian jenis pekerjaan, si teman, dan kronologi detilnya. Semoga bisa diambil hikmahnya.

Share this post

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *