Beberapa hari yang lalu saya menonton film pendek yang menceritakan perjalanan karir desainer Yumi Katsura, desainer bridal gown pertama di Jepang yang membawa masuk budaya menikah dengan gaun gaya barat. Ketika menonton cerita kesuksesan Yumi Katsura tersebut, saya menemukan sebuah sudut pandang baru tentang “mengejar mimpi”. Benarkah kita sebenarnya hidup mengikuti mimpi kita? Atau jangan-jangan justru mimpi yang mengikuti kemanapun kita pergi?

Mimpi-mu pasti akan terwujud, meski butuh waktu

Kebetulan, 2 minggu yang lalu ketika saya belajar bahasa Jepang bersama guru saya, kami membaca sebuah kolom koran yang membicarakan seputar dunia kerja. Kali ini, kolom bertajuk “Hataraku Kimochi” itu membahas tentang “pekerjaan yang berlawanan”, yang ternyata setali tiga uang dengan kisah sukses Yumi Katsura.

Kolom koran tersebut membahas seorang pegawai berinisial K (42 tahun) yang mengaku mengawali karirnya justru di pekerjaan yang “berlawanan” dengan mimpi bahkan dengan kemampuannya, namun justru kemudian membawanya ke kesuksesan.

Kolom Hataraku Kimochi yang menjadi bahan belajar membaca kanji untuk saya

Jaman economic bubble di Jepang dulu, orang akan berlomba-lomba untuk melamar pekerjaan di perusahaan besar, karena jenjang karir dan gaji yang stabil. Sayangnya, ketika kita mendaftar di perusahaan tersebut, kita tidak selalu bisa bekerja di departemen yang kita inginkan, bisa saja kita diterima tapi bukan di bagian yang kita lamar. Itulah yang terjadi pada K yang melamar bekerja di perusahaan penerbit besar di Jepang kala itu.

K yang bercita-cita menjadi seorang editor di perusahaan penerbit itu ternyata justru diterima di bagian akunting perusahaan penerbit tersebut, padahal dirinya tidak ada basic di bidang akuntansi, karena ia bukan lulusan jurusan tersebut.

Selama setahun ia mendapat pelatihan akunting di perusahaan penerbit, mulai dari menghitung stok, hingga menghitung keuntungan. Meskipun selama setahun pertama itu ia merasa kecewa dan sedih karena merasa tidak relate dengan pekerjaannya, namun pada akhirnya ia terbiasa, bahkan semakin pandai di bidang tersebut.

Baca juga  Perempuan dan Perpisahan: Tantangan dalam Hidup Minimalis

Selama 6 tahun lamanya ia bekerja di bidang yang “bukan merupakan mimpinya”. Namun, saking cintanya ia dengan dunia editing dan layouting, di waktu senggangnya, ia acapkali berkumpul dengan teman-teman dari departemen editing dan layouting, untuk berdiskusi tentang masalah di departemen tersebut, sambil membayangkan ‘ide yang bisa ia tawarkan di bidang editing dan layouting andaikata ia bekerja di departemen tersbut’. Bagi K, ini membantu dia untuk keep track with her dream.

Sampai suatu hari perusahaan penerbit tersebut membuat majalah internal di mana semua departemen di dalam perusahaan tersebut diminta untuk mengisi, termasuk departemen akunting. Seperti gayung bersambut, K memanfaatkan kesempatan ini untuk unjuk gigi di bidang editing dan layouting dari halaman yang ia susun untuk departemen akunting. Halaman yang ia susun kemudian menarik perhatian kepala editor di perusahaan penerbit tersebut yang akhirnya menawarkan K untuk pindah ke departemen editing dan layouting. And there, her dream started.

K akhirnya menikmati pekerjaan barunya sebagai editor. Meskipun pada akhirnya ia merasa bahwa jenjang karir di departemen tersebut tidak cocok untuknya, hingga akhirnya dia pindah ke anak perusahaan penerbit tersebut, yang akhirnya memaksa dia untuk membangun perusahaannya sendiri karena anak perusahaan tersebut bangkrut.

Bersama dengan perusahaan penerbit baru yang didirikannya, K menemukan kesuksesan yang dicari-cari. Bukan hanya karena ia bisa bekerja sebagai editor, namun juga karena kemampuan akunting yang ia dapat dari pengalaman bekerja di “bidang yang tidak dia sukai” selama 6 tahun.

Seandainya K menyerah dari pekerjaannya sebagai akuntan perusahaan dan semata-mata hanya “mengikuti mimpi”-nya, mungkin K tidak akan bisa menemukan kesuksesan seperti yang ia dapatkan dengan perusahaan barunya dan keahlian ganda (editing dan akunting) yang ia punya. Dengan ia bertahan, meskipun ia sedih dan meskipun ia harus menunggu lama, ternyata mimpi itu tetap mengikuti pada waktunya, hingga akhirnya dia menjadi editor dan memulai perjalanan karir impiannya.

Baca juga  Pelajaran Penting untuk Perempuan: Inspirasi dari Series "MAID" di Netflix

Jadi, mimpi kah yang mengikuti kita?

Gagal bukan akhir mimpi

Siapa yang menyangka bahwa Yumi Katsura, seorang desainer ternama Jepang, tidak ingin menjadi desainer pada awalnya. Meskipun ibunya seorang penjahit yang membuka sekolah menjahit, namun Yumi tidak ingin mengikuti jejak ibunya. Ia malah memilih menjadi aktor teater.

Yumi Katsura dan film biografinya yang ditayangkan di Hulu bertajuk “Hare no Hi Cinderella”

Namun jalan hidupnya berubah ketika ia tidak terpilih dalam audisi teater. Akhirnya ia mengubur mimpinya dan mengikuti jejak ibunya untuk belajar menjahit dan mengajar di sekolah milik ibunya.

Awalnya Yumi belajar hanya untuk keperluan mengajar saja, tapi ia kemudian menemukan ketertarikan terhadap fashion ketika ia dikirim belajar ke Paris. Ia menemukan ketertarikan pada sesuatu yang awalnya bukan impiannya. Dari situlah kemudian ia memiliki mimpi baru untuk membawa fashion style gaya barat dalam bentuk wedding gown di tengah kondisi Jepang yang masih konservatif dengan wedding kimono.

Yumi Katsura pernah gagal dalam mengikuti mimpi-nya, tapi kemudian mimpi “baru” datang dan mengikutinya. Hingga akhirnya ia mengikuti mimpi tersebut dan menemukan kesuksesannya.

Jadi, apakah mimpi mengikuti kita?

I personally believed in “law of attraction”. Apa yang kita pikirkan, yang kita percaya, yang kita fokuskan, akan pelan-pelan terwujud dalam hidup kita. Dulu saya ingin jadi penyanyi, tapi saya ngga pernah nyanyi, ngga pernah manggung, ya ngga akan pernah datang kesempatan bagi saya untuk jadi penyanyi.

Ketika kita memimpikan sesuatu, dan mempercayainya, sedikit demi sedikit menjalankannya, mewujudkannya, maka lama-lama akan datang kesempatan untuk kita berkembang lagi. Sama seperti prinsip-nya James Allen, “Mind is the Master power that moulds and makes…” selama kita terus memikirkannya, maka itu akan terjadi.

Ibu K terus memikirkan bagaimana seandainya ia menjadi seorang editor, maka kesempatan itu datang padanya. Ibu Yumi Katsura barangkali merasa kepikiran di bawah sadarnya untuk meneruskan usaha ibunya dan membanggakan ibunya, hingga inspirasi untuk membawa gaya busana Eropa ke Jepang datang padanya.

Dream will come true for those who dream it.

Indy Rinastiti, 2024

Jadi, kalau kita merasa mimpi kita kok ngga kunjung datang, ya mungkin kita kurang “memimpikan”nya. Kalau kita merasa mimpi kita kok gagal sampai di sini, belum tentu itu gagal, bisa jadi itu pintu ke mimpi yang sebenernya kamu idam-idamkan di dalam hatimu.

Baca juga  Program Vaksin HPV: Women should celebrate!

Kalau kamu merasa lelah “mengikuti mimpi”-mu, bisa jadi kamu mengikuti mimpi yang “salah”, bukan mimpi yang benar-benar kamu bisikkan di dalam kepala dalam tidurmu. Coba tinggalkan “mimpi” yang kamu ikuti itu, kalau dia datang kembali, berarti memang itulah “mimpi” yang kamu attract.

Seperti orang Muslim dan orang Indonesia pada umumnya, kita percaya bahwa rejeki sudah ada yang mengatur. Bahwa rejeki tidak mungkin tertukar, sebab Tuhan yang menentukannya. Mimpi-mu bisa jadi sudah terkode di alam bawah sadar-mu, dan mimpi itu akan mengikuti kita, kemanapun kita berjalan, selama kita masih terus memimpikannya.

Ya ngga sih?

Share this post

3 comments

  1. Aku juga percaya mimpi yang mengikuti kita. Untuk itu banyak orang bilang, dekatkanlah kamu dengan mimpimu. Maka akan terwujud

  2. Ini seperti cerita di buku Sang Alkemis karya Paulo Coelho yang harus muter-muter dulu untuk menemukan harta yang terletak di depan matanya selama ini.

    Namun dari perjalanannya muter-muter itulah, si tokoh utamanya (lupa namanya) ditempa dan “disiapkan” untuk menerima harta/rezeki yang sudah ditetapkan untuknya.

    Kalau dipikir-pikir, rasanya kaya Tuhan ini lagi bercanda. Cuma ya gitu, kadang kita memang harus “diputer-puterin” dulu sebelum menerima doa-doa kita.

    Biasanya sih, ketika momen itu datang, kita suka ketawa sendiri saat melihat ke belakang pada apa yang sudah kita lalui untuk sampai di titik sekarang.

    Selera humor Tuhan memang nggak ada yang ngalahin ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *