Pernah menelan ego sendiri? Gimana rasanya? Sakit? Pedih? Percaya ngga kalau saya bilang saya pernah menelan ego dan ternyata berbuah manis? Well, ini benar pernah terjadi pada saya, dan kebetulan ini terjadinya di dalam dapur rumah tangga. Jujur saja, saya bangga dengan keberanian saya menelan ego, dan semoga cerita ini bisa menginspirasi orang lain dengan masalah yang sama.

Pergi jalan-jalan

Suatu hari, ditengah kesibukan bekerja, saya dan suami memutuskan untuk pergi jalan-jalan di akhir pekan. Karena sudah lama sekali kami ngga “kencan”, suami berinisiatif menyewa mobil untuk kami jalan-jalan, sekaligus menikmati musim gugur yang baru tiba kala itu.

Karena suami ada pekerjaan diakhir pecan, kami memutuskan untuk pergi agak siang, agar suami punya waktu untuk bekerja dan mengambil mobil rental tersebut di pagi hari. Saya pun segera menyelesaikan semua pekerjaan pagi itu, agar seharian bisa bebas berpiknik.

Dalam hati, saya excited banget, karena biasanya suami sudah punya rencana akan pergi ke mana dengan mobil. Biasanya ke tempat-tempat indah nan romantic yang ngga pasaran, seperti jaman kami pacaran dulu.

Setelah mengambil mobil rental, suami menjemput saya di rumah. Karena kami pergi di jam makan siang, kami memutuskan untuk pergi makan siang dulu. Karena restorannya sangat nyaman, kami sempat makan dan duduk lama bercengkerama di sana.

Seselesainya makan siang, saya sangat excited menebak ke mana kami akan pergi. Tapi, usut punya usut, ternyata suami tidak punya destinasi khusus. Tentu saya terkejut. Akhirnya saya berinisiatif mengusulkan beberapa tempat yang cakep tapi memang mainstream, tapi ditolak oleh suami.

Baca juga  5 saran dalam berumahtangga dengan orang asing

Ujung-ujungnya, suami malah putar balik ke rumah. Katanya, “mampir pulang dulu yuk sebentar, aku mau tidur sebentar karena ngantuk berat”.

Pikir saya, mungkin karena habis makan dan nongkrong lama di restoran, jadinya ngantuk. Ya sudah, saya iyakan permintaan suami, karena bahaya juga nyetir naik mobil sambil ngantuk.

Ekspektasi yang tidak terjawab

Sudah sekitar 1 jam, suami ngga kunjung bangun. Yang tadinya saya kira power nap, ternyata kok jadi tidur beneran. Saya yang sudah super excited jadi mulai irritable karena merasa dicuekkin, merasa ekspektasinya tidak terjawab.

Dalam hati, saya sempat merasa bahwa saya rugi mengosongkan jadwal saya hari itu untuk pergi piknik yang ternyata malah ngga jadi. Saya merasa ego saya tersakiti.

Lambat laun saya merasa marah, dan saya bangunkan suami saya. Saya bilang, “yaudah kalau kamu mau tidur, mending aku pergi main sendiri aja sama temen”. Dalam hati saya merasa, “rugi kalau aku ngga kemana-mana, mending aku pergi main sendiri saja!”

Suami kemudian merespon, “emang kamu mau kemana?”
Saya yang sebenernya tidak ada rencana kemana-mana, menjawab asal saja untuk menjaga ego pribadi, “ya paling ke mall, ada temenku di sana”.

Sambil kesal saya nambah lagi, “lah habisnya kamu sendiri malah ngga jadi ngajak jalan kemana-mana. Ya rugi waktuku”. Dari situ, saya melihat suami antara marah dan kecewa, tapi tetap dalam diamnya.

Karena merasa tidak ada respon, saya langsung ambil jaket dan siap-siap keluar rumah. Begitu saya keluar rumah, saya mulai menentukan akan ke mana dan naik kereta apa menuju ke sana. Saya yang sudah terlanjur marah langsung melangkahkan kaki ke arah stasiun kereta tujuan. Baru beberapa langkah, tiba-tiba saya kepikiran.

Baca juga  Three Things You Need to Have Relationship: Sebuah inspirasi dari podcast Raditya Dika x dr. Jiemi Adrian

Kenapa saya marah? Kenapa saya merasa harus ke mall? Kenapa saya merasa rugi? Bukankah saya sudah memutuskan hari itu mau dihabiskan kencan dengan suami? Kenapa malah saya yang pergi?

Dari situ saya mulai merasa, “oh, mungkin saya merasa ego saya tersakiti karena ekspektasi saya tidak terjawab”. Karena ekspektasi yang tidak terjawab itu, saya jadi memproyeksikannya ke suami, “menyalahkan” dia karena tidak jadi pergi hari itu. Pergi ke mall itu adalah suatu upaya “protes” ke suami, tapi tidak memecahkan masalah utama kami, “mau pergi kencan ke mana berdua?”.

Menelan ego: sakit tapi berbuah manis

Seketika itu saya balik badan dan masuk rumah lagi. Walaupun rasanya kesel banget, saya kembali dan menghampiri suami yang mukanya masih marah dan kecewa. Saya tawarkan solusi.

“Gimana kalo kita ke taman A? Atau kita ke gunung B? Atau kita ke tempat yang deket aja, kayak mall X, kan di sana parkirnya murah tuh,” dengan nada yang netral, tidak emosi atau menghakimi.

Suami yang tadinya diam marah dan kecewa, mulai buka suara. Menurut dia, Taman A terlalu jauh, sementara gunung B terlalu ekstrim rutenya (takutnya saya mabok di mobil), tapi mall X dia ngga suka karena terlalu ramai.

Walaupun dalam hati saya masih kesel karena masih belum ada keputusan, saya tawarkan lagi nilai plus dan minus dari masing-masing destinasi, agar kami bisa menilai bersama secara obyektif, dan akhirnya kami memutuskan ke mall X.

Sepanjang jalan memang suami seperti menggerutu karena memang personally ngga suka shopping mall. Tapi, setibanya di mall, ternyata suami enjoy belanja bareng. Kami belanja bareng, becanda bareng, makan malem bareng, dan akhirnya ekspektasi saya terjawab. Saya gembira, dan ternyata suami juga gembira liat saya seneng.

Baca juga  Fakta Pahit Pernikahan yang Tidak Pernah Dikatakan: Benar kah?

Moral of the story…

Dari pengalaman itu, saya jadi belajar banyak tentang mengendalikan ekspektasi, proyeksi, menemukan solusi, dan menelan ego.

Suami saya memang suka sulit membuat keputusan (dalam konteks ini adalah keputusan mau pergi ke mana) apalagi kalau dihadapkan dengan saya, karena saya cenderung anxious dalam bertindak. Tapi, memproyeksikan emosi ke suami karena ekspektasi yang tidak terjawab sebenarnya adalah tindakan egois.

Kala itu, saya tidak mempertimbangkan bahwa mungkin saja suami saya sebenernya marah dan kecewa sama dirinya sendiri, karena ngantuknya dia membuat saya malah nyaris pergi sendiri dalam keadaan kesal dan marah, yang ini justru akan memperburuk hubungan kami.

Jujur aja, saya sangat kesal waktu suami malah tidur dan ngga menentukan mau ke mana. Bahkan dua kali lebih kesel ketika saya tidak jadi “merasa menang” dengan pergi sendiri dan malah balik badan ke rumah dan diskusi sama suami. Tapi, ujung-ujungnya saya berhasil menemukan “solusi” masalah kami, alih-alih hanya memenangkan ego saya sendiri. Akhirnya, dengan tetap pergi bareng (walaupun bukan ke destinasi ekspektasi saya) yang senang bukan hanya saya, tapi juga suami.

Manis, kan?

Dan saya yakin buah manis ini ngga cuma muncul di persoalan rumah tangga saja. Bisa diterapkan di situasi apapun.

Sebuah refleksi 4 tahun perjalanan pernikahan kami. Semoga makin langgeng, makin strong.

PS. Cerita ini diceritakan dari POV saya sebagai wanita, tidak menggambarkan karakter asli suami.

Share this post

2 comments

  1. Kereeennn banget, iya banget sih ini, seringnya pertengkaran suami istri itu sebenarnya bermula dari hal-hal yang sepele (jika dipikir dengan kepala dingin), sayangnya ga semua orang bisa menahan ego dan melewatinya lalu menyadari manis menekan ego.
    Thanks sharingnya, mengena banget!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *