Supaya perjalanan S3 kita aman dan nyaman untuk kita, supervisor, maupun seisi lab, ada satu attitude penting yang perlu kita miliki selama di Jepang: profesional. Memang apa itu profesionalisme menurut orang Jepang?
Table of Contents
Profesionalisme
Di Jepang, profesionalitas itu sangat amat penting. Mau kita sekolah, kerja part-time, interaksi sehari-hari, apalagi kalau bekerja, nilai yang harus dijunjung itu adalah profesional.
Profesional yang dimaksud disini adalah ketika waktunya kerja ya fokus kerja. Di lokasi kerja ya mendiskusikan kerjaan. Ketika bekerja, ngga ada diskusi atau aktivitas di luar kerjaan. Kalau berinteraksi, ya sesuai dengan pekerjaannya. Means, NO PERSONAL BUSSINESS IN THE WORKING SPACE!
No Personal Bussiness in the lab
Ini pun yang saya sadari, justru setelah lulus S3. Sewaktu awal memulai S3, waktu pertama kali masuk lab, tidak ada orang yang pernah menjelaskan pentingnya profesionalitas ini ke saya. Tidak ada aturan yang jelas juga di lab. Tapi, lambat laun saya jadi semakin ngerti aturan profesionalitas yang tidak tertulis ini.
Di lab saya, supervisor-supervisor saya tidak pernah ngecek ke lab, apa yang kami, para PhD student, lakukan di dalam lab. Hanya sesekali lewat atau sidak saja. Itu pun jarang sekali. Yang penting kami selalu menyajikan progress report, terserah bagaimana cara kami bekerja.
Walaupun begitu, beberapa orang diantara kami ada yang sering mendapat “tugas tambahan” dari bos supervisor kami. Ketika ditelusuri, ternyata itu karena diantara kami ada yang “ketahuan” mengakses YouTube (konten entertainment) atau main game di jam kerja. Memang bukan “ketahuan” langsung dari supervisor-supervisor, tapi dari staf lain, warga lokal yang bekerja dengan kami. Dan itu tanpa ditegur dulu, langsung dilaporkan ke bos supervisor.

Kenapa? Karena menurut mereka para staf, kegiatan yang tidak berhubungan dengan lab (mengakses facebook, nonton film/video entertainment, main game), tidak boleh dilakukan di jam kerja. Konsekuensinya, jelas tidak ditegur, tapi langsung di laporkan ke atasan yang berwenang (sama kayak orang Jepang yang sukanya lapor polisi kalau ada ketidaknyamanan).
Sama halnya kalau menerima telepon atau video call dari keluarga, misalnya. Sebisa mungkin jangan dilakukan di lingkungan kerja. Kecuali kita telepon/video call/zoom meeting/nonton video YouTube yang ada hubungannya dengan pekerjaan (misalnya lihat protokol di video YouTube).
No interpersonal bussiness in the lab
Sama halnya dengan persoalan pribadi yang menyangkut hubungan interpersonal dengan anggota lab lainnya. Suatu hari dalam perjalanan S3 saya, saya pernah “ngambek” sama seorang senior karena masalah personal, dan saya jadi ngga mau kerja bareng senior tersebut. Akibatnya, dinamika pekerjaan di lab jadi mulai terganggu. Untungnya, senior saya yang lainnya, berhasil menjembatani hubungan kami, sehingga dinamika lab kami tidak terganggu. Alasan sang senior, “ayo selesaikan masalah ini internal kita aja, jangan sampai ketahuan supervisor, karena akan mengganggu dinamika hubungan kerja di lab”. Kenapa?
Karena di lab kami juga pernah terjadi prahara interpersonal yang hebat, yang sampai mengganggu dinamika kerja di lab. Ngga cuma sekali, tapi tiga kali bahkan! Salah seorang dari anggota kami punya masalah dengan yang lain. Meskipun lakonnya cuma dua, ternyata masalah ini kemudian “menyenggol” anggota lab lainnya, sehingga timbul prahara yang mengganggu dinamika kerja. Endingnya? Di salah satu kasus, semua anggota lab dipanggil dan disidang oleh bos supervisor kami. Karena sudah mengganggu dinamika kerja di lab, ini termasuk tindakan tidak profesional.
Hal ini pun baru saya sadari setelah lulus. Bahwa tindakan kami saat itu sangat tidak profesional. Pantes saja staf warga lokal lain seperti “tidak sreg” dengan kondisi kami yang “gelut” saat itu. Karena emosi personal seharusnya tidak dibawa ke ranah pekerjaan.
Bos supervisor pun juga sangat hati-hati setiap kali menangani kasus interpersonal. Sebisa mungkin beliau tidak menanggapi secara personal, tapi lebih profesional, dengan mengedepankan kepentingan lab, bukan personal.
Dari Bos Supervisor saya belajar profesionalitas
Selama 4 tahun saya bekerja dengan bos supervisor saya dalam koridor PhD, selama itu pula hubungan saya dan bos supervisor adalah seperti guru dan murid. Apa yang saya diskusikan hanya soal pekerjaan di lab. Hal yang saya “curhatkan” ke dia, juga hanya seputar progress penelitian. Bahkan, ketika sayaa “merasa tertekan” dengan supervisor langsung saya, saya juga tidak mengadu, selama tidak mengganggu perjalanan riset saya.
Tapi, setelah selesai studi, setelah lulus, bos supervisor saya menjadi orang yang sangat berbeda. Beliau menjadi lebih terbuka (mungkin ada efek usia yang makin tua dan sebuah near death experience yang sempat beliau alami juga). Setiap kali ngobrol, kami cuma ngobrolin penelitian (untuk proyek kolaborasi yang masih saya kerjakan sampai sekarang) selama beberapa menit, sisanya kami ngobrolin kehidupan pribadi masing-masing, yang itu tidak pernah beliau ceritakan ketika saya masih mahasiswa PhD.
Beliau juga beberapa kali menceritakan pengalaman pribadinya menikah, menjadi suami, cerita tentang anak-anaknya, dan keluarga. Sampai ke penyesalannya dalam hidup. Diantara cerita-cerita itu, beliau juga kerap memberikan wejangan ke saya, sebagai orang asing yang menikah dengan WN Jepang, supaya saya aware dengan budaya Jepang.
Bahkan, beberapa kali beliau menawarkan saya pekerjaan atau beberapa proyek penelitian supaya saya bisa stay lebih lama di Jepang, saking beliau peduli dengan kondisi saya yang bersuamikan WN Jepang.

Meskipun, ketika pertama kali beliau tau saya menikah dengan orang Jepang, beliau kaget setengah mati. Karena beliau tidak pernah tau saya punya pacar orang Jepang, apalagi proses pacarannya itu ketika saya masih berstatus student (dan itu selama hampir 3 tahun), yang mana masa itu adalah tanggungjawab beliau.
Hal pertama yang beliau tanya ketika tau saya menikah dengan orang Jepang adalah: “apakah suamimu itu anggota lab kita? Atau pegawai Universitas?” Usut punya usut, ternyata hubungan personal, apalagi romantis, yang terjadi antara PhD student dengan staf/anggota lab (terutama kalau itu adalah warga lokal Jepang), di lingkungan yang sama (satu lab atau satu lingkungan), bisa dianggap sebagai unprofessional conduct. Kalau itu sampai ketahuan supervisor, bisa jadi masalah besar bagi PhD student dengan staf/anggota lab terkait.
Meskipun supervisor kami adalah tipe orang yang peduli dengan semua mahasiswanya, tapi beliau memang tidak pernah too personal dengan mahasiswanya selama masa studi. Tapi, setelah masa studinya berakhir, beliau jadi lebih terbuka seperti seorang sahabat/keluarga, karena beliau berusaha menjaga profesionalisme disitu.
Makanya, kalau ada cerita cinta di drama-drama Jepang, yang itu melibatkan teman sekantor, se-lab, atau selingkungan, biasanya akan cenderung ditutup-tutupi. Karena mereka takut itu dianggap sebagai tindakan yang tidak professional.
Saran saya
Untuk temen-temen yang lanjut S3 di Jepang, supaya perjalanan S3 temen-temen mulus, saya sarankan untuk selalu menjaga hubungan secara profesional dengan siapapun. Karena kelulusan kita sebagai student sangat bergantung dengan supervisor kita, dan hubungan ini harus dijaga tetep profesional.
Yang mau pacar-pacaran, jangan dibawa ke lab, jangan ketahuan juga. Yang sebel sama temennya se-lab, usahakan di keep to yourself aja. Jangan curhat terlalu personal ke staf di lab, apalagi yang bukan teman benar-benar deket, most of them cuma kepo, ujung-ujungnya dilaporin juga. Jangan curhat hal yang kelewat personal juga ke supervisor, kecuali itu ada hubungannya dengan pekerjaan.
Itulah sebabnya kenapa banyak orang yang bilang “susah dapat teman di Jepang”, karena mereka selalu mengedepankan profesionalitas di lingkungan kerja mereka. Kalau mau cari teman, coba di luar lingkungan kerja, misalnya sewaktu hang out di luar (makanya banyak yang suka minum-minum setelah kerja), atau menemukan teman dari aktivitas diluar pekerjaan.
Just my two cents, tapi boleh temen-temen buktikan sendiri. Betul ngga?
