Banyak orang/influencer yang mengajarkan kita tentang bagaimana bisa kuliah di luar negeri. Tapi, tidak banyak yang menceritakan bagaimana cara “bertahan” saat studi di luar negeri. Padahal, kenyataannya, studi di luar negeri ngga seindah apa yang dipikirkan orang.
Table of Contents
Kenyataan Tentang Studi di Luar Negeri
Kebanyakan orang tidak akan sempat atau kepikiran untuk menceritakan sejujur-jujurnya tentang lika-liku studi di luar negeri yang sebenernya. Karena, memang ngga sekeren, secantik, dan se-wow itu.
Coba kalau temen-temen perhatikan, rata-rata para influencer pendidikan di media sosial memulai karir “bercerita” mereka pada masa-masa awal pendidikan, atau justru di akhir pendidikan. Karena masa pertengahan pendidikan biasanya dipenuhi banyak ups and down yang kita sendiri belum tentu mau untuk menceritakannya.
Yang mengikuti saya dari jaman blog rumahindik sampai ke segmen akademik di blog ini juga pasti udah sering baca kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa S3 ITU BERAT, apalagi di luar negeri, apalagi di Jepang dengan segala macam budaya akademiknya.
Semester awal saya S3 di Jepang memang terasa seperti a dream come true. Bahagia banget. Tapi, hal itu ngga berselang lama, setelah saya mulai menyadari bahwa saya itu sebenernya 1 semester lebih lambat dalam hal belajar di tingkat S3 ini ketimbang peer saya.
Sejak saat itu, saya mulai merasakan living in hell dengan studi saya yang ngga maju-maju, sering ganti judul, dimarahi, diremehkan, yang diperparah dengan inferiority complex. Emosi itu terus terbawa sampai 1,5 tahun, bahkan hampir 2 tahun saya merasa tersiksa.
Ada suatu titik di pertengahan studi dimana saya mulai menunjukkan gejala layaknya orang gangguan mental, menurut ilmu psikiatri.
Kala itu saya merasa kehilangan minat sama sekali dengan traveling, dengan shopping, dengan jalan-jalan di jalanan Jepang yang keren, bahkan saya kehilangan minat bernyanyi/main musik/nge-dance (padahal ini hal yang menyelamatkan saya kala studi S1 dan sempat stres juga), ujung-ujungnya, saya tidak mau bercerita kepada siapapun, bahkan ke teman dekat/keluarga sekalipun.
Untungnya, saya menemukan cara-cara yang membuat saya bisa bertahan saat studi di luar negeri tersebut. Dulu pernah saya bahas secara singkat di posting ini, tapi di sini, akan saya bahas lebih dalam.
Tips Bertahan saat Studi di Luar Negeri
Admit it!
Akan sangat susah untuk keluar dalam lingkaran setan kesedihan kalau kita menolak mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja. Ngga perlu merasa sok kuat.
Kalau memang kata-kata supervisor terlalu menyakitkan, katakan itu menyakitkan. Kalau kata-kata supervisor itu benar, misalnya kerjaan kita ngga maju-maju, ya admit it, dan segera fokus mencari solusi, ketimbang berlarut-larut pada kesedihan karena dibilang “ngga maju-maju”.
Termasuk ketika kita benar-benar terpojok, maka akuilah kalau kita memang butuh pertolongan. Ask for help! Carilah ahlinya, seperti psikolog atau psikiatri.
Katakan juga ke supervisor kita jika kita memang tidak sanggup dan butuh bantuan. Sebab supervisor studi adalah orang yang bertanggungjawab terhadap kita, jadi supervisor harus tahu.
Selama kita tidak bisa mengakui, kita tidak akan bisa move on, dan tidak bisa fokus untuk mencari solusi ke depannya.
Find someone to talk to
Mengeluarkan uneg-uneg dengan berbicara dengan orang lain dapat membantu. Tapi kita harus tahu siapa tempat bicara yang tepat. Seseorang yang bisa mendengarkan dengan baik.
Teman yang senasib dan seperjuangan memang bisa menjadi tempat berkeluh kesah, tempat mencari saran, dan tempat mencari support.
Namun saran saya, ketika sudah merasa sangat penat dan sangat hampa, ada baiknya mencari teman yang di luar lingkungan kita, yang bisa mendengarkan tanpa memberi judgement sekaligus bisa memberikan saran yang lebih variatif, bahkan lebih obyektif.
Karena ada kalanya ketika kita sedang penat dan sangat sedih, kalimat-kalimat seperti “aku juga gitu kok” atau “ditempatku lebih parah lagi” atau “mendingan, si X tu lebih parah”, sama sekali tidak akan membantu.
Sementara jika kita bertemu dengan orang yang benar-benar di luar lingkungan kita, mereka tidak bersinggungan dengan siapapun di lingkungan kita, yang akan membuat judgement mereka terpengaruh. Mereka tidak bisa berpihak, sehingga terkadang saran yang mereka berikan bisa lebih obyektif dan bisa mengisi rasa penat atau hampa yang kita rasakan itu tadi.
Mereka juga bisa menjadi pendengar yang baik, tanpa harus memberikan judgement tertentu. Sebab mereka tidak berada di lingkungan kita, sehingga mereka cenderung tidak akan men-judge.
Kalau beruntung, kita bisa juga menemukan teman bicara yang sekaligus menjadi teman hidup, seperti kisah saya dan suami.
Kalau perlu, gunakan jasa psikolog atau psikiatri. Sekali lagi, akuilah jika memang kita butuh bantuan.
Salah satu kolega satu lab saya pernah menggunakan bantuan jasa profesional seperti psikolog/psikiatri. Dan saya bersyukur, ternyata itu membawa dampak yang positif buat dia.
Find a coping mechanism: How to?
Coping mechanism (CM) adalah suatu langkah yang digunakan orang dalam menghadapi stres dan/atau trauma sambil mengelola emosi yang menyakitkan atau sulit.
Ada dua jenis CM, yaitu problem-focused dan emotion-focused. Dalam keadaan stres berat, kita belum tentu bisa melakukan CM yang problem-focused, karena saking stres dan sedihnya mungkin kita tidak bisa melihat dengan obyektif titik masalahnya.
Sehingga, saran saya adalah mencoba CM yang berfokus pada emosi. Tujuannya adalah membuat diri merasa nyaman, sehingga emosi bisa terkendali.
CM yang berfokus pada emosi biasanya tidak melibatkan sumber masalah, misalnya jalan-jalan. Menurut saya, jalan-jalan bisa menjadi wahana yang sangat baik untuk coping. Kita bisa meredakan emosi dengan melihat suatu hal yang baru, yang indah, atau yang menarik.
Kalau kita suka bernyanyi, ya bernyanyilah, main musik, masak, makan masakan Indonesia dan sebagainya. Lakukanlah untuk meredakan emosi.
Memulai channel YouTube pribadi yang isinya agak-agak random adalah salah satu CM saya yang berfokus pada emosi. Dengan jalan-jalan dan memposting videonya membuat saya memiliki sense of accomplishment sehingga saya lebih tidak emosi karena hal-hal yang tidak bisa saya capai.
Tapi, setelah meredakan emosi, cobalah mencari CM yang problem-focused. Mintalah saran dari orang yang tepat, coba analisis masalahnya: apakah ini masalah yang berada dalam kendali kita, atau bukan. Kalau bukan, ya akuilah, dan jangan berusaha memperbaiki yang di luar kendali kita.
Makanya, kalau liat influencer studi yang isinya jalan-jalan terus di luar negeri, jangan buru-buru men-judge bahwa mereka “enak” hidupnya. Bisa jadi mereka sedang berusaha menutupi atau meredakan emosi yang bergejolak karena dinamika studi mereka.
Menurut saya, memiliki CM yang sehat adalah salah satu poin yang penting dan harus dimiliki oleh international student manapun. Karena memang luar biasa stresornya apalagi berada di luar comfort zone kita.
Remember: what is your goal, your responsibility
Menyenangkan semua orang jelas bukan tujuan dan tanggungjawab kita. Jadi jangan berusaha menjadi international student yang membahagiakan semua supervisormu.
Ketika kita harus cepat-cepat publish karena harus lulus segera, ya lakukan yang terbaik untuk menyelesaikannya, walaupun supervisormu mungkin akan kecewa karena kita tidak bisa publish di jurnal yang paling top demi mengejar target tanggal lulus.
Apalagi bagi international student yang dibiayai melalui beasiswa. Targetnya adalah lulus dengan baik dan tepat waktu. Bisa publish di jurnal top adalah bonus, tapi yang terpenting adalah lulus tepat waktu dan membawa gelar.
Ingat kembali ketika kita berjuang keras mendapatkan beasiswa, atau berusaha keras untuk diterima di suatu perguruan tinggi. Apa yang ingin kita capai kala itu? Untuk apa kita mati-matian berjuang kala itu? Ingat lagi, apakah kita sudah cukup berusaha untuk mencapainya?
Satu hal lagi yang musti diingat kalau itu bukanlah tujuan dan tanggungjawab kita: yaitu bersaing dengan teman satu lab. Jangan pernah bersaing dengan mereka, karena itu tidak perlu, dan itu tidak akan membawa kita kemana-mana.
Kalau tujuan kita adalah pulang membawa gelar akademik, ya bawalah gelar PhD atau Master. Kita ngga perlu repot-repot menambahkan gelar “lebih baik dari teman lab saya” atau “anak kesayangan supervisor saya”.
Yang terakhir, coba ingat lagi wajah keluarga yang bangga lihat kita bawa pulang gelar.
Remember your God
Sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka mengingat keberadaan Tuhan menjadi salah satu strategi terjitu yang membuat saya bisa bertahan saat studi di luar negeri.
Meskipun penelitian saya terombang-ambing, tidak jelas, tapi saya percaya Tuhan akan memberikan pertolongan. Ketika saya berada di titik terendah pun, saya ngga sampai kepikiran yang aneh-aneh karena selalu ingat kalau Tuhan mengawasi kita.
Apalagi ketika saya dulu sudah mepet deadline kelulusan tapi belum juga bisa publish, saya yakin itu kuasa Tuhan yang membuat saya akhirnya diterima di paper yang saya tuju.
Ngga cuma rajin kerja di lab, saya iringi juga dengan rajin berdoa dan rajin sholat sunnah. Eh, ternyata beneran bisa lancar sampai lulus.
Akhir kata…
Kelima poin yang saya tulis diatas adalah yang menurut saya paling bermanfaat dan paling berjasa dalam membuat saya bertahan ketika studi di Jepang dengan kultur akademik yang begitu keras.
Mungkin akan sedikit banyak berbeda dengan pengalaman teman di belahan dunia yang lain.
Apapun itu, semoga bisa memberi sedikit pencerahan, bahwa studi di luar negeri itu berat, dan kita harus tahu bagaimana caranya bertahan.
Jadi, gimana menurut temen-temen? Yuk diskusi di kolom komentar yak!
ada temen lagi S3 d Jepang. Dosen di Solo. Bawa anak istri. So far postingannya lagi jalan-jalan teroos 🙂
Soalnya bagian yang ngga jalan-jalan itu ngga “worth” buat dipost. Bukan begitu?
Kadang ada juga yang bawa keluarga, keluarganya kadang bosenan, jadi penyelamatnya ya jalan-jalan itu. Daripada ngambek nanti rewel. Rewel ngga bisa fokus studi. Hehehe
Tapi ya kembali lagi ke personalnya
keren kak tulisannya.. salam kenal saya Sari kuliah di Kobe University😁
Wah salam kenal! Senang ketemu anak kobedai di blog juga!