Kembali lagi ngomongin gaya hidup minimalis yang sampai sekarang saya struggling banget untuk bener-bener bisa mengaplikasikannya. Apalagi buat perempuan seperti saya, salah satu tantangan dalam hidup minimalis buat perempuan adalah berpisah dari barang-barang sentimental.
Saya pikir hanya sedikit orang seperti saya yang kesulitan untuk berpisah dengan barang-barangnya, tapi ternyata engga juga. Ternyata banyak perempuan merasakan hal yang sama.
Table of Contents
Perempuan dan Perpisahan
Beberapa waktu yang lalu, kakak perempuan saya menjual mobil yang dikendarainya sehari-hari. Tidak butuh waktu lama, mobil itu akhirnya menemukan pemilik barunya.
Sebelum waktu serah terima yang dijadwalkan tiba, kakak saya meminta kakak perempuan saya yang nomer 2 untuk memfoto dirinya bersama dengan si mobil tersebut. Untuk kenang-kenangan, katanya.
Tidak berselang lama, kemudian pemilik barunya datang untuk transaksi dan serah terima. Saya tidak ada di lokasi waktu itu, tapi menurut kakak saya yang nomer 2, kakak pertama saya nampak mbrambangi alias menahan nangis saat menyerahkan mobil itu, pun saat mobil itu dikendarai oleh sang pemilik baru.
Beberapa saat kemudian kakak saya menemukan mobil pengganti yang ingin dia beli. Pemiliknya seorang perempuan yang tinggal di kota Bandung.
Uniknya, ketika kakak saya ke Bandung untuk serah terima mobil, ternyata pemilik mobil juga “berfoto terakhir kali” dengan si mobil, sebelum diserah terimakan ke kakak saya. Dan, menurut kakak saya, ternyata si pemilik lama mobil itu juga mellow ketika menyerahkan ke kakak saya!
Walah, ternyata sama saja dengan saya yang suka mellow ketika membuang/mendonasikan baju tidak terpakai!
Mungkin memang kodratnya perempuan kali ya, perasaannya berat untuk berpisah, ya sama manusia dan ya sama barang juga.
Beda dengan suami saya yang bat-bet-bat-bet barang-barangnya masuk plastik sampah. Atau bat-bet-bat-bet tau-tau barangnya dikasihkan orang lain. Asal jangan barang saya yang tau-tau jadi milik orang lain aja yah hahahaha
Tantangan Hidup Minimalis: Berani berpisah dengan barang!
Menurut hemat saya nih, kayanya ketimbang mengurangi belanja-belanji, tantangan tersulit dari minimalis justru pada bagian membuang/mendonasikan barang-barang yang sudah tidak kita butuhkan. Intinya, bagian berpisah dengan barang kita itu.
Ya memang label-nya tidak dibutuhkan, tapi kadang ngga semudah itu melupakannya. Karena bisa jadi mereka tidak dibutuhkan saat ini, tapi mereka begitu berjasa di masa lalu, sehingga sulit sekali melepas emotional attachment tersebut.
Mobil kakak saya dan mobil kakak yang di Bandung mungkin sudah tidak diperlukan saat ini, tapi mungkin dulu dia adalah mobil pertama mereka, yang ikut naik turun lika liku hidup, yang udah mengantar dari rumah hingga ke penjuru bumi, jadinya ada ikatan emosional di dalamnya. Apalagi buat perempuan yang emosional.
Saya kira awalnya ini bawaan genetik, soalnya ibu saya pun punya emotional attachment terhadap barang. Tapi ternyata ngga cuma di keluarga saya, di teman-teman perempuan pun banyak juga yang merasa begitu.
Sebenernya ngga cuma perempuan. Menurut suami, dulunya dia juga merasakan emotional attachment yang besar terhadap barang-barang kesayangannya, tapi emosi itu lambat laun hilang karena dibiasakan untuk tidak punya attachment yang terlalu dalam sejak kecil.
Akhirnya, sekarang suami hanya menyimpan sedikit sekali barang dari masa lalunya, jadi kalau pindah-pindah tempat tinggal, beliau sudah sangat terlatih. Ibaratnya, tinggal angkat koper aja beres!
Perempuan pun sebenernya bisa dilatih untuk bisa begitu. Tapi mungkin effortnya lebih besar, secara perempuan adalah makhluk hormonal yang emosinya bisa naik turun dan bergantung fluktuasi hormon seperti saat menstruasi.
Tips dan Trik Berpisah dengan Barang
Ada beberapa tips untuk melepas emotional attachment yang pernah saya bahas sebelumnya di posting yang lain. Dan ternyata salah satu step dalam bahasan tersebut bermanfaat juga buat kakak saya dan kakak di bandung itu, yaitu dengan mengambil foto.
Sampai sekarang pun saya masih rajin mengambil foto barang-barang yang saya declutter dan yang saya buang/donasikan. Meskipun toh nantinya foto itu tidak dilihat lagi, tapi foto itu membantu meyakinkan kita bahwa memori dan emosi yang melekat masih tersimpan. It helps!
Yang jelas, selain harus berani untuk berpisah dengan barang-barang kesayangan, kita juga harus konsisten dan membiasakan diri untuk bisa berpisah. Karena, semakin terlatih kita akan semakin jauh dari attachment yang berlebihan.
Setelah bisa melepas attachment, berikutnya adalah mengerti apa itu cukup. Supaya ngga kebablasan kalo nambah barang ya!
Akhir kata
Hidup minimalis emang ngga mudah. Apalagi buat perempuan yang hobi belanja, hobi membeli barang tidak penting dan hobi memiliki barang.
Tapi diantara hal tersebut, berpisah dengan barang kesayangan adalah hal yang paling sulit, meskipun bukannya tidak bisa.
Kita hanya perlu membiasakan diri untuk tidak terlalu terikat oleh suatu barang. Kalau memang sulit, coba lakukan tips dan trik-nya. Jangan menyerah, dan tetap konsisten!
Adakah diantara teman-teman yang sedang berjuang juga?
Perempuan emang kerenn ka…
Sama kak. Aku juga punya perasaan emosional atau sentimental terhadap barang. Kalau bukan keluarga yang bantu buang, barang2 dari masa kecil bakal masih tetap tersimpan sampai sekarang. Padahal kalau dipikir, barang2 tsb tidak pernah dilihat lagi ataupun digunakan.
Saat ini sedang belajar juga untuk melepaskan. Terutama barang2 yang memang hanya menumpuk dan tidak digunakan. Mulai dari pakaian hingga koleksi buku.
Sulit sih. Cuma membayangkan barang2 tersebut lebih terpakai di tangan orang lain, jadi lebih lega. Dan tips untuk mengambil foto sebelum berpisah dgn barang2 tsb juga aku terapkan.
Salah satu efek baiknya, jadi mikir berulangkali sebelum beli barang baru. Biar tidak menumpuk barang kembali.
Setuju!
Keren dan unik pastinya
Agree banget!
Saya juga sekarang kalau mau beli sesuatu jadi mikir sampe berulang ulang ulang.
Soalnya takut banget kalo ngga tahan lama, trus jadi harus ngebuang-ngebuang.