Saya pikir mengurangi konsumsi demi hidup sederhana adalah hal yang tersulit. Ternyata, melepaskan attachment dalam minimalism, justru lebih sulit.
Table of Contents
Attachment terhadap barang: my biggest challenge
Ada ngga diantara teman-teman yang masih menyimpan mainan masa kecil? Sampai sekarang masih disimpan dengan alasan “banyak kenangannya”.
Saya juga begitu.
Ternyata ini yang dimaksud attachment terhadap barang. Artinya, kita emotionally attached dengan barang tersebut. Dan sebenernya hal seperti ini sangat umum ditemukan.
Saya masih menyimpan boneka beruang kesayangan saya dari umur sekitar 6-7 tahun sampai sekarang. Dan saya masih ngga bisa mendonasikan apalagi membuang benda itu. Pun beberapa buku saya jaman SD.
Kamar saya bahkan sempat keliatan seperti gudang gara-gara rasa attached yang berlebihan ini. Banyak barang yang puluhan tahun tidak saya gunakan, tapi tetap saya simpan karena “banyak kenangan”nya.
Bahkan, dulu sebelum saya kembali ke Indonesia, saya sengaja menitipkan banyak barang ke suami dan minta tolong sama suami untuk menjual/membuangkan, saking saya ngga tega mau buang sendiri. Alasannya: “banyak kenangan jaman susah S3 dulu!” wkwkwk.
Melepas Attachment dan Belajar Prioritas
Tapi, kemudian saya jadi belajar banyak dari proses decluttering, dari proses melepas attachment ini dalam rangka menuju hidup simpel ala minimalism.
Saya pikir melepas attachment itu ya cuma melepas hubungan emosional aja, tapi ternyata ngga juga. Ada hubungannya dengan menata prioritas kita.
Releasing the distractions to let the most meaningful things in your life shine requires you to define for yourself what you value most and how you will prioritize them.
Laura Noelle (lauranoelle.com)
Menurut para pelaku minimalism, termasuk ibu Laura Noelle ini, decluttering bisa dilakukan kalau kita bisa memprioritaskan apa yang benar-benar berharga dalam hidup kita.
Misalnya kenangan di suatu barang, mana yang lebih berharga: kenangannya atau barangnya? Kalau kita memprioritaskan kenangannya, maka kita bisa melepaskan barangnya. Karena kenangan itu ada di pikiran dan di hati kita, bukan di barangnya. Kalo katanya Iva Ursano (womenblazingtrails.com), it’s all in your mind!
Menurut para pelaku minimalism, ketika kita bisa melepaskan attachment tersebut, artinya kita memprioritaskan untuk move on menuju masa depan, ketimbang terseret ke dalam arus memori masa lalu.
Apakah attachment artinya selalu buruk?
Dalam hal ini saya setuju sama tulisan ibu Iva dan bapak Thomas Hikaru Clark, kalau attachment itu ngga sepenuhnya buruk.
Bahkan menurut bapak Thomas, seorang minimalist sejati biasanya punya rasa sayang terhadap (sedikit) benda yang dia miliki, yang dirasa penting untuk dia.
Dengan memperlakukan benda dengan sedikit emosi, seperti teman, kita akan merasa senang memakai, merawat dan memperlakukan benda tersebut dengan baik. Sehingga kita ngga akan perlu menambah lebih banyak “teman” lagi ketika kita sudah punya satu yang berharga.
Menurutnya lagi, ketika kita memperlakukan barang hanya seperti sekedar barang, maka kita akan kembali terjebak dalam lingkaran konsumerisme. Kita akan masuk ke dalam lingkaran beli-rusak-beli-rusak, tanpa ada perasaan ingin menjaga barang tersebut sebaik-baiknya.
Sedangkan attachment yang tidak baik adalah ketika perasaan attached itu sampai mengganggu kehidupan sehari-hari. Dan, tidak ada salahnya melakukan konseling atau mencari bantuan jika emotional attachment itu betul-betul besar dan mengganggu.
Bagaimana melepaskan attachment dalam minimalism?
Ada beberapa langkah yang disarankan oleh ibu Iva dan Andrea Jordan (tinybuddha.com), tapi menurut saya, ini beberapa langkah yang benar-benar bermanfaat untuk membantu saya decluttering:
Take your time
Setiap orang punya pace atau timingnya sendiri dalam menyelami emosinya (dan kenangannya) pada suatu barang. Jadi menurut saya jangan buru-buru. Kalau kita belum bisa melepaskan sekarang, berilah sedikit waktu. Lakukan langkah berikutnya.
Selami emosinya
Kadang saya ambil barang yang sulit saya lepaskan. Saya duduk dan saya ingat kembali kenangan yang ada di barang itu. Sambil saya selami memori tersebut, saya lipat dan rapikan baik-baik barang tersebut, masukkan ke dalam kotak yang tidak akan saya buka untuk kedua kalinya.
Jika saya sudah merasa yakin, kotak tersebut akan langsung saya buang atau donasikan.
Simpan dalam bentuk lain
Kalau suami saya biasanya menyarankan untuk mengambil foto barang tersebut dan menyimpannya. Lebih ringkas menyimpan dalam bentuk foto.
Sebagian besar barang yang saya jual/donasikan/buang di Jepang, sudah saya foto terlebih dahulu.
Lakukanlah sedikit demi sedikit
Ini salah satu langkah yang paling bermanfaat untuk saya. Perasaan membuang kenangan begitu banyak dalam satu waktu terasa sangat menyiksa buat saya. Dan menakutkan.
Jadi biasanya saya simpan sebagian untuk dievaluasi pada decluttering berikutnya. Kemudian saya buang dan saya simpan sebagian lagi, begitu terus hingga akhirnya saya berhasil mengeliminasi sebagian besar barang. Walaupun makan waktu lebih lama, tapi berhasil.
Minta tolong orang lain
Nah, ini juga langkah terakhir yang bermanfaat buat saya. Biasanya saya minta bantuan suami atau kakak saya, karena mereka akan lebih objektif dalam menilai mana barang yang masih bermanfaat dan ngga, tanpa ada emosi tertentu.
Kalau kita memang mengalami attachment yang agak terlalu berat, kita bisa juga minta bantuan ke psikolog.
Apalagi ketika kita berusaha melepaskan attachment dari benda-benda yang sangat sentimental, seperti peninggalan orang tercinta yang meninggal. Ngga ada salahnya kita konsultasi ke ahlinya.
Usahakan untuk selalu didonasikan
Atau jual. Membayangkan benda kita bisa bermanfaat untuk oranglain rasanya sangat relieving. Lebih nyaman ketimbang harus membuang dan membayangkan benda kita berakhir di TPA.
Kalau menurut Jordan, ini seperti memberi kehidupan kedua bagi barang-barang tersebut.
Sayangnya kalau di Indonesia kadang saya masih merasa sulit mencari tempat dimana saya bisa mendonasikan (atau menjual) barang tersebut. Kalau ada teman-teman yang tahu, mohon saya di beritahu yak!
Akhir kata
Kembali lagi, mengurangi konsumsi adalah hal yang mudah untuk saya, tapi melepaskan attachment bisa jadi hal yang sulit. Padahal hidup minimalis/sederhana sebenarnya adalah ditengah-tengah antara konsumerisme dan emotional detachment.
Ada beberapa langkah yang bisa membantu kita melepaskan attachment, tapi kembali lagi, apakah ini sudah sesuai dengan prioritas hidup kita? Selama sudah sesuai, then go for it!
(lakukan sedikit demi sedikit)
hihi saya setuju bagian ini, ada kali butuh 3 tahun untuk pelan-pelan decluttering dan ketika waktunya sudah pas cukup dengan kenangannya, jadi lebih bisa melepaskan juga. habis itu merasa lega karena saat ini lebih luas secara pandangan dan “nggak ada beban tersimpan”.
pas kalau lagi beberes sekalian declutter, jadinya lama karena mengingat memori-memori dulu. tp it was fun tho 😀
Kalo ngerasa barang lama, mis: baju lama, sayang dibuang karena masih enak dipakai, termasuk attachment gak ya?
Samaa banget kak. Jadinya agak lama baru bisa detach dr barang itu
Kayanya kalau masih bisa dimanfaatkan (masih enak dipakai) sepertinya bukan attachment kak. Kalo uda bolong-bolong, ngga bisa dipake dan masih disimpen, mungkin iya kak. Hehehehe