Walaupun masa-masa itu uda lewat 3-4 tahun yang lalu, tapi masih ada beberapa kenangan selama saya studi S3 di Jepang yang masih terasa sampe sekarang. Ngga semua kenangan itu cantik, ada yang baik dan juga ada yang buruk.

Karena minggu ini saya ditantang untuk menulis dengan tema kenangan dari forum #1minggu1cerita, saya mau berbagi kenangan yang paling mengena. Barangkali nantinya bisa menjadi gambaran untuk teman-teman yang bercita-cita atau sedang bersiap-siap untuk S3 di Jepang.

Kenangan Terburuk selama S3 di Jepang

Kayanya saya punya banyak kenangan terburuk selama studi hehehe. Tapi ya namanya kenangan buruk pasti ngga untuk diingat-ingat sih.

Tapi, ada satu momen buruk, yang entah kenapa masih teringat.

Momen ketika dibilang, “I don’t believe you/your data”

Ada masa kaya gitu? Ada.

Yang ngikutin saya dari jaman blog rumahindik.blogspot.com barangkali tau kalau masa S3 saya cukup gelap-terang. Karena kondisi akademik yang lumayan strict gitu dan tuntutan supervisor yang tinggi.

Diawal studi, saya sering kelabakan mengikuti “selera” dan tuntutan salah satu supervisor, apalagi saya memang model mahasiswa yang “B ajah”. Makanya, ada waktu ketika saya menyodorkan data hasil eksperimen saya yang “B ajah”, beliau pernah merespon begitu.

Sedih? Ya iyalah. Kata supervisor saya yang utama (bos besarnya lab saya), data adalah data. Meskipun itu data negatif, data yang kurang bagus, data tetaplah data. Makanya, ketika dibilang data saya ngga bisa dipercaya, atau “kamu” ngga bisa dipercaya, ya rasanya menusuk hingga ke relung jiwa….

Baca juga  4 Alasan Memilih S3 di Jepang

Sekarang sih, kalau mengenang itu saya bisa ketawa-ketawa. Karena mungkin itu adalah bentuk tough love. Dan ngga cuma saya, ada juga pejuang S3 lain yang juga dapat tough love dalam bentuk yang lain. Seperti badai yang berlalu, masa-masa itu pun akhirnya juga terbukti bisa berlalu. Akhirnya saya bisa ketemu satu kepala dengan supervisor saya waktu itu.

Tapi, memang ada masanya di mana saya merasa rendah banget kala itu, merasa ngga mampu, dan merasa payah banget. Mungkin itu bibit yang bikin impostor syndrome dan bikin saya sempet merasakan episode-episode kelam.

Kenangan Terbaik selama S3 di Jepang

Kalo ngomongin kenangan terbaik jelas ada banyak pastinya. Namanya juga kenangan baik. Kenangan kumpul dan jalan-jalan sama temen, kenangan pentas bareng anak PPI, kenangan ketemu mantan pacar, sampe kenangan wisuda tentu saja banyak yang diingat.

Tapi kalo dalam konteks akademik, ada satu momen yang terkenang banget buat saya, dan bisa dibilang menjadi momen titik balik di kala itu.

salah satu kenangan terbaik kala itu

Ketika dibilang, “Let’s write your manuscript”

Supervisor saya cukup strict dalam hal menulis manuskrip. Biasanya beliau tidak langsung setuju jika kita mengajukan draft manuskrip kita, apalagi jika data-data kita “belum sesuai dengan kemauan beliau”.

Beliau juga punya kebiasaan untuk menulis garis besar cerita dari manuskrip sebelum menyerahkan ke mahasiswa untuk finishing. Intinya, kita ngga bisa mulai kalau beliau belum kasih lampu ijo.

Saya pernah menyodorkan manuskrip yang saya buat sebelumnya, dengan harapan supervisor memberikan lampu ijo segera karena waktu itu deadline ujian disertasi saya sudah mepet dan data saya masih belum “memuaskan selera beliau”. Tapi, beliau ngga bergeming.

Baca juga  Cara Mencari Supervisor/Profesor untuk S3 di Jepang

Hingga suatu hari akhirnya beliau bilang, “Let’s write your manuscript”. Ini seperti membalik perkataan beliau dari momen terburuk saya sebelumnya.

Yang menyenangkan adalah instead of membuat draft manuskrip baru, beliau menggunakan draft yang saya ajukan sebelumnya sebagai basis.

It’s just a little gesture, tapi seperti menandakan bahwa beliau mempercayakan penulisan sepenuhnya pada saya. Dan memang betul, akhirnya saya menulis dan menyusun sendiri manuskrip tersebut. Padahal, biasanya beliau sangat ikut campur kalau soal penulisan.

Kala itu, beliau hanya memberi masukan, mengoreksi, dan mensubmit ke jurnal tujuan kami. Kertas draft manuskrip saya yang beliau coret-coret pun masih saya simpan sampai sekarang.

Simpel, tapi di tengah krisis kepercayaan diri saya yang terbentuk dari kenangan-kenangan kurang indah di masa itu, kalimat simpel menulis manuskrip ini saja sudah cukup membuka hati saya. Saya jadi lebih percaya diri, dan saya juga bisa melihat true color dari supervisor saya: ternyata bukan supervisor di Jepang itu kejam, hanya caranya saja yang tough.

Sejak saat itu, saya lebih bebas dari tekanan untuk melakukan eksperimen dan mencari jawaban untuk bagian akhir dari cerita disertasi saya. Dan rasanya menyenangkan bisa menyelesaikan sesuatu yang kita mulai.

Intisari dari Kenangan Terbaik dan Terburuk

Dari kenangan terbaik dan terburuk ini, saya jadi belajar banyak tentang trust dalam koridor akademik. Tentang rasa percaya diri yang itu penting banget buat perjalanan akademik kita, entah itu di level S1, S2, atau S3, atau bahkan di ranah profesi.

Makanya, kalau saya ditanya tentang ambil S3 di Jepang, selalu saya bilang untuk bersiap-siap ngga cuma secara fisik dan akademis, tapi juga secara mental. Karena dunia akademik itu keras! Ditambah latar budaya di Jepang yang memang terkenal keras secara akademik.

Baca juga  Tips Bertahan Saat Studi di Luar Negeri

Buat yang punya pengalaman yang sama, terutama pengalaman yang buruk, tetap semangat! Hang in there! Bertahan lah, karena pasti akan berlalu!

Share this post

4 comments

  1. Selamat dan makasih mba Indy sudah berbagi cerita ttg suka dan duka S3 😄
    Data penelitian sering kali tidak sesuai hipotesis padahal mahasiswa S3 sudah merencanakan dan mengerjakan dengan penuh kesabaran dan mati2an. Kemudian dari sensei bilang data kurang baik, apa yg harus dilakukan selanjutnya mba? Di posisi yang sedih dan kebingungan itu..

  2. Hi Patty!
    Sebenernya kita semacam ngga punya opsi lain selain bekerja lebih keras lagi. Menurut pengalamanku, yang terpenting cari ide lagi, terus lakukan eksperimen berulang-ulang sampai menemukan hasil yang konsisten. Kalau sudah begitu, sensei ngga akan komentar lagi. Karena sekali lagi, data adalah data.
    Tapi, kalau memang pas lagi sedih dan bingung, ambil step back dulu sebentar, tarik nafas, baru cari ide lagi dan kerja keras lagi 🙂 pasti bisa kok!

  3. Pendidikan di Jepang bener bener keras ya mbak, barusan aku liat di sosmed, sebagai contoh aja, anak kecil berangkat sekolah udah mandiri naik kereta.
    kalau di Indo, mungkin ada yang diculik atau apa gitu
    Di jepang, tingkat disiplin udah ga perlu dipertanyakan lagi, waktu sangat berharga ya

  4. Betul mba, dulu saya pikir anak di Jepang keras banget hidupnya. Tapi ternyata itu memang persiapan untuk hidup mereka ketika dewasa yang memang sekeras itu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *