Minggu lalu, kebetulan saya mendengar banyak berita tentang kabar bullying alias perundungan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Sebagai orang yang pernah menjalani pendidikan dokter dan melihat PPDS, saya bertanya-tanya, apakah benar?

Kalau kita tanya pada yang sudah pernah PPDS atau sedang menjalani PPDS, jawabannya pasti “tidak ada bullying, hanya penguatan karakter dan kesiapan mental”. Ada juga beberapa dokter yang berpendapat, “itu sih bukan bullying, orangnya aja yang lemah, ngga kuat dia PPDS. Jaman saya dulu jauh lebih berat dari itu. Jaman mereka mah udah mendingan banget itu”.

Saya pun bertanya, betulkah orang-orang yang merasa “di bully” itu hanya orang lemah? Jika kita tidak bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah lama ada, berarti kita lemah, dan tidak cocok di bidang itu. Begitu ya?

Saya sendiri belum pernah menjalani PPDS, jadi ngga bisa berkomentar banyak. Tapi, saya jadi bertanya sendiri, seandainya itu terjadi pada saya, di lingkungan S3 saya, akankah saya berpikir bahwa generasi sekarang lemah dan tidak sekuat saya dulu?

Generation Gap

Buat yang mengikuti blog saya dari rumahindik.blogspot.com barangkali pernah membaca beberapa post saya tentang S3 di Jepang. Beberapa post diantaranya mungkin terdengar unpleasant. Ya emang sih, ngga seindah bagian travelingnya.

Supervisor saya (associate professor) di lab saya dulu adalah orang yang sangat strict, keras, dominant, galak, –mungkin agak–diktator, dan mengerikan. Bekerja keras hingga larut malam, di hari kerja maupun akhir pekan, sudah jadi kebiasaan yang umum. Dimarahin dan dihina, barang kali juga biasa. Yang membuat hari-hari di lab saya sering kali kelabu.

Belakangan, setelah saya lulus, saya baru tahu kalau apa yang dialami kami-kami para mahasiswa PhD itu mungkin bisa dibilang semacam bullying, atau kalau di ranah kami, sebutannya academic harassment.

Usut punya usut, ternyata associate proffessor (asprof) saya itu sekarang sudah pindah dan menjadi professor di Universitas lain. Sementara supervisor (professor–bosnya asprof saya) saya sekarang sudah sangat sibuk dengan berbagai grant dan proyek penelitian. Jadinya, suasana seram, dihina, dimarahi, sudah jauh berkurang, malah terasa lebih bebas.

Baca juga  Kenyataan Pahit yang Saya Pelajari dari Kehidupan: Self Compassion

Sementara, sekarang di lab tersebut kedatangan seorang asprof baru yang sangat ramah, baik, kocak, friendly, dan enak diajak diskusi ketimbang asprof “jaman saya”. Seperti tidak ada barierr antara murid dan asprof, tidak ada ketegangan. Meskipun soal kultur kerja keras tiap hari tetap ada.

Mungkin kalau saya ditanya oleh junior-junior saya di lab tersebut, saya akan bilang “wah enak ya, mending banget dibanding jamanku dulu”. Mungkin saya akan menilai bahwa mereka lemah, karena tidak lagi bekerja dibawah tekanan asprof yang galak dan mengerikan.

Tapi, apakah benar mereka lemah? Apakah dengan tidak adanya tekanan, mereka jadi lebih enak? Apakah mental dan pemikiran mereka tidak berkembang karena suasana lab yang tidak “sekeras dulu” dan lebih bebas?

Kenyataannya, jaman sudah berubah. Kalau dulu di jaman saya, saya bekerja hingga larut malam karena bermain dengan DNA, RNA, protein, dengan hewan coba, dan segala macamnya, sekarang penelitian sudah semakin canggih.

Banyak teknologi baru yang bisa digunakan untuk penelitian. Ada metode sequencing baru, imaging baru, reagen/kit baru, dan banyak lagi teknologi yang membuat penelitian laboratoris menjadi lebih efisien waktu. Tapi, belum tentu lebih mudah dari pada “jaman saya” dulu. Karena tantangannya berbeda!

Walaupun beberapa teknologi membuat mereka bisa bekerja dengan lebih cepat, tapi untuk dapat menguasainya juga dibutuhkan waktu yang panjang dan effort yang beda. Beberapa teknologi juga hanya bisa diaplikasikan dengan approach yang jauh berbeda dari jaman saya.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi penelitian, ngga mungkin saya bisa bilang bahwa junior-junior ini perlu menjalani apa yang saya jalani dulu. Karena “metode penelitian saya” ya sudah ngga cocok dengan generasi sekarang. Mungkin apa yang dulu saya pelajari, sudah tidak cocok diaplikasikan ke dunia penelitian yang semakin maju sekarang.

Baca juga  Kita Mengikuti Mimpi, atau Mimpi Mengikuti Kita?

Mungkin mirip juga dengan mendidik anak jaman now. Metode parenting jaman baheula dimana anak-anak belum mengenal gadget, belum tentu cocok untuk anak-anak jaman now yang banyak segmen dalam kehidupannya dipengaruhi oleh gadget.

Bullying atau bukan?

Sebenernya, menurut saya, mendefinisikan bullying dalam konteks PPDS tidaklah mudah. Karena sistem pendidikan kedokteran memang harus keras dan disiplin.

Menganggap semua kekerasan dan tindakan pendisiplinan sebagai tindak bullying hanya karena tindakan tersebut tidak cocok untuk mereka rasanya kurang bijak. Tapi, menganggap mereka-mereka yang ter-bully sebagai orang yang lemah juga tidak bijak. Bisa jadi, ini adalah buah dari generation gap itu tadi.

Manusia berubah, suka atau tidak suka. Maka sistem juga harus ikut berubah mengikuti dinamika sosial manusia. Karena menurut saya, sistem dibuat untuk mempermudah manusia, bukan untuk memperbudak manusia.

Jika sistem yang ada sudah tidak cocok dengan jaman, mengapa tidak disesuaikan? Mungkin ini masalah generation gap saja.

Human is evolving, right? So does the environment.
Bagaimana menurut teman-teman? Mari diskusi.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *