Selamat Idul Adha! Pada perayaan Idul Adha kali ini, saya teringat dengan beberapa pertanyaan dari suami Muallaf saya, yang pernah ia lontarkan kepada saya, dan membuat saya tertegun.
Dari pertanyaan-pertanyaan “polos” tersebut, ajaibnya, ternyata saya malah jadi belajar banyak.
Sebelumnya disclaimer dulu, saya bukan ahli agama, dan ini hanya bentuk sebuah opini dan cerita pengalaman saja. Yang baik boleh diambil, yang buruk tolong jangan diikuti. Mohon maaf juga jika ada yang kurang berkenan dari tulisan ini. Tidak bermaksud mendiskreditkan siapapun.
Jadi, apa saja yang ditanya suami?
“Didn’t they learn Al-Quran? Why did they do that?”
Di suatu momen Idul Adha, suami saya pergi sholat di mesjid terdekat. Ternyata, di mesjid tersebut, ada service berupa makanan dan minuman gratis yang disponsori oleh mesjid tersebut.
Selesai sholat Ied, suami pergi keluar dan diajak mengantri didepan truk kebab, karena servis makanan akan dimulai. Suami langsung ikut didalam antrian yang sudah di atur panitia di situ.
Karena suasana masih pandemi, suami tidak mau antri terlalu mepet. Dia memberi jarak antara si pengantri di depan, dan dirinya.
Tak berselang lama, semakin banyak orang keluar dari masjid dan ikut mengantri. Bukannya mengikuti antrian dari belakang, beberapa orang dengan santainya menyerobot space kosong di depan suami, sehingga antrian suami tidak kunjung maju.
Lebih parahnya, ada beberapa orang dengan tanda pengenal bertuliskan “staf” yang malah ikut menyusup ke space kosong itu. Ada juga, yang ketika panitia pengatur antrian sedang mengatur antrian, beberapa orang malah minta kepada panitia tersebut untuk antri di depan entah dengan alasan apa. Untungnya panitia yang merupakan staf masjid itu cukup tegas dan menolak orang-orang tersebut menyerobot antrian.
Setelah kejadian itu, otomatis suami bertanya pada saya, “Apakah orang-orang muslim tersebut tidak belajar Al-Quran? Kalau iya, kenapa mereka seperti itu? Mereka seperti orang yang tidak teredukasi”. Kurang lebih seperti itu kalimatnya, tapi bukan dengan nada marah, melainkan heran.
Dari pertanyaan itu, saya sadar bahwa bagaimana kita berperilaku sebagai seorang muslim itu sangat-sangat berdampak terhadap pandangan orang lain. Berdampak juga pada persepsi orang tentang apa itu Islam. Apalagi orang yang tidak mengerti.
Islam itu indah, dan ajaran Al-Quran juga indah. Tapi kalau para penganutnya tidak berperilaku baik, siapa yang mau percaya?
Semua muslim pasti belajar Al-Quran, artinya we are well educated. Jadi, mengapa kita tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari?
“Why do you feel unconfident? You don’t believe in Allah?”
Ini adalah pertanyaan yang paling menohok buat saya. Rasanya seperti ditampar ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu. Memang apa hubungannya rasa percaya diri dengan Tuhan?
Beberapa kali saya curhat ke suami tentang pekerjaan saya dan rasa kepercayaan diri yang hilang ditengah pekerjaan. Karena kurang percaya diri, saya sering khawatir performa pekerjaan saya tidak baik dan khawatir akan berakhir diberhentikan dari pekerjaan itu.
Setelah saya bercerita tentang hal itu, komentar dari suami cuma satu, “Kenapa kamu ngga PD? Kamu ngga percaya sama Allah?”
Padahal kita tahu, segala sesuatu yang kita punya adalah pemberian dari Allah swt. Jadi kenapa kita harus takut kehilangan? Kenapa saya begitu tidak pedenya hanya karena takut akan kehilangan pekerjaan itu. Padahal kalau kita kehilangan, kita hanya perlu berdoa dan percaya bahwa Allah swt akan memberikan yang terbaik.
Dari percakapan ini saya jadi sadar, semestinya kita tidak perlu hidup dalam ketakutan, kekhawatiran, atau ketidakpercayadirian selama kita percaya bahwa Allah swt sudah mengatur semuanya. Dan, ternyata, ini malah yang sering saya lupa!
Don’t worry too much, just do it.
Kesimpulan
Saya bukan ahli agama dan ilmu agama saya masih dangkal sekali. Tapi, pertemuan saya dengan suami yang akhirnya muallaf sepertinya memang jalan dari Allah swt untuk saya lebih termotivasi untuk ikut belajar agama.
Dari pertanyaan suami Muallaf saya yang belum sedalam itu mengenal Islam, saya juga jadi ikut tertegun dan introspeksi diri. Saya juga ikut tergerak untuk belajar lagi.
Sekarang sedikit demi sedikit saya jadi termotivasi untuk memperbaiki diri.
Semoga kelak bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.