Semua temen-temen S3 saya yang membawa anaknya ke Jepang dan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Jepang, baik di tingkat playgroup, TK, maupun SD, pasti pernah mengeluh soal printilan barang-barang sekolah anak-anak. Mulai dari tas bekal, handuk, peralatan makan dan tidur (untuk baby), dan segala macamnya.

Bukan cuma soal banyaknya printilan barang-barang yang harus di beli dan disiapkan untuk keperluan anak sekolah, tapi kewajiban orang tua untuk menamai SEMUA barang-barang anak-anak mereka (ngga hanya barangnya, tapi semua part dari masing-masing barang, misalnya tutup kotak makan dan kotaknya masing-masing harus dinamain. Rempong bukan?).

Tujuannya, supaya tidak tertukar dengan temannya. Or that’s what I thought. Tapi, ternyata itu bukan cuma soal tidak tertukar, ada filosofi pendidikan “ala Jepang” dibalik penamaan barang-barang itu.

Pendidikan Karakter Dasar Anak-anak di Jepang

Sebelumnya saya pernah “ngoceh” di instagram tentang sistem pendidikan di Jepang. Faktanya, pendidikan dasar di Jepang memang tidak menitikberatkan pada ilmu pengetahuan, tapi justru menitikberatkan pada pendidikan karakter “khas Jepang”, yaitu karakter nasionalisme, patuh, dan homogenisme (keharmonisan sosial).

Pendidikan karakter itu sudah ditanamkan sejak di TK dan masih berlanjut sampe tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti di SD, SMP atau SMA. Anak-anak diajarkan untuk selalu patuh-patuh-dan patuh. Selalu menjaga norma sosial dan aturan tidak tertulis yang ada di society. Anak-anak diajarkan untuk selalu dinamis, tidak menonjol, dan mendahulukan kepentingan sosial.

Makanya, jangan heran kalo di Jepang itu ada jyuku alias les-lesan untuk anak TK bahkan, karena sebenernya kurikulum SD-SMA negeri di Jepang tidak mengedepankan knowledge, tapi ke pendidikan karakter. Sehingga untuk mengejar knowledge, orang tua harus menambah melalui pelajaran tambahan seperti les-lesan.

Nah, salah satu bentuk pendidikan karakter ini diwujudkan dalam pelabelan barang-barang itu. Tujuannya bukan hanya soal tanggungjawab, tapi juga soal menjaga keharmonisan sosial. Kok bisa?

Baca juga  Apa bedanya brand fashion Jepang Uniqlo vs GU? A Guide for Jastip Lover

Tanggungjawab dan Rasa Memiliki

Salah seorang teman saya di Jepang yang kebetulan punya anak dan bersekolah, pernah berkata bahwa guru di sekolah anak mereka bilang, semua barang harus dilabeli supaya si anak ini tahu mana yang miliknya (jadi ngga tertukar), punya rasa memiliki, dan punya rasa ingin menjaga apa yang merupakan miliknya. Menurut saya cara ini sangat simpel, tapi ternyata tujuannya menarik, dan bisa jadi impact-nya besar ke pribadi si anak itu sendiri.

Suatu hari saya pernah pergi ke toko Swarovski di sebuah mall di kota Nishinomiya bersama keluarga suami. Selayaknya toko Swarovski lain, mereka selalu punya rak display yang itu berisikan patung-patung atau pajangan-pajangan berbahan kristal ala Swarovski yang harganya mahal-mahal banget.

Ketika sedang asik melihat koleksi produk mereka, ada seorang bapak-ibu dan 2 anaknya, kakak beradik perempuan sekitar umur 4-6 tahun, masuk ke dalam toko. Si ibu dan bapak langsung ngacir ke segmen perhiasan. Sementara anak-anak mereka ngacir langsung ke display patung Marvel yang terbuat dari Swarovski. Sontak saya langsung deg-deg-an, karena anak-anak kan sulit diprediksi, apalagi usia segitu, biasanya suka “kreatif” dan pegang-pegang ini itu. Takutnya kayak kasus patung ironman di salah satu mall di Jogja seharga 35juta yang pecah karena ulah anak-anak.

Tapi, kekhawatiran saya ternyata sia-sia. Kedua anak itu begitu gemas dengan patung pahlawan Marvel berbahan Swarovski sambil berteriak kegirangan saking cantiknya kristal-kristal itu. Tapi, keduanya sama sekali tidak menyentuhnya. Saya sempat terheran-heran, kok bisa begitu. Suami hanya jawab, ya soalnya itu bukan barang milik mereka, mereka tahu mereka tidak boleh memegang barang yang bukan miliknya.

Dari mana mereka belajar membedakan barang yang bukan miliknya? Ya dari kebiasaan barang-barang sekolah mereka yang dilabeli itu. Mereka terbiasa dengan konsep mana miliknya, mana bukan miliknya, dan mana yang milik umum. Kalau itu milik mereka, mereka bebas memakai, sedangkan yang bukan milik mereka, mereka ngga bisa seenaknya saja memegang.

Baca juga  Rekomendasi Drugstore di Jepang ala IndyRin: Untuk pecinta skincare dan kosmetik Jepang!

Cerita ini juga dikonfirmasi sama salah seorang teman saya yang punya anak di playgroup di Jepang. Meskipun masih umur 2-3 tahun, tapi si anak ini sudah tahu bahwa gelas ini punya mamanya, piring ini punya papanya, sepatunya dia yang ada gambarnya singa, kalau bukan bergambar singa itu bukan punyanya (dia ngga boleh pake). Ajaib kan?

Gimana caranya mengajari anak usia 2-3 tahun tentang kepemilikan?
Bukan dengan dimarahi, disuruh, atau ditegur, hanya dengan pengulangan berkali-kali seperti “kore wa A-kun no desu” (ini punyanya si A lho). Setiap hari mereka mengulang-ulang “ini bukunya si A”, “yang ini sepatunya si B”, dan sebagainya, sehingga anak jadi terbiasa dengan mana yang miliknya dan mana yang milik temannya. Simak cerita mama Novia dan anaknya Akira-kun di bawah ini.

Keharmonisan Sosial di Sekolah

Selain soal label nama, kepemilikan, tanggungjawab, dan keharmonisan sosial juga diajari melalui “barang kepemilikan” itu tadi. Seperti cerita berikut ini:

Suatu hari, teman saya yang punya anak SD di Jepang pernah bercerita tentang lucunya guru di Jepang. Ceritanya, sebut saja si anak teman saya ini tu si A. Si A punya temen namanya si B. Suatu hari, si B ini lupa membawa penghapus. Karena si A ini punya penghapus lebih, tentu saja si A meminjamkan penghapusnya dengan senang hati.

Mengejutkannya, inisiatif baik itu justru mendapat teguran dari gurunya. Gurunya bilang, kalau si B tidak membawa penghapus, si B seharusnya meminjam dari gurunya, bukan dari temannya. Kenapa? Usut punya usut, saya baru tahu dari suami juga, ternyata ketika kita kelupaan bawa penghapus, itu bukan soal kita tidak bertanggungjawab sama tugas kita (membawa perlengkapan sekolah) saja, tapi meminjam ke orang lain itu juga dianggap “mengganggu keharmonisan kelas”. Padahal, si A merasa tidak berkeberatan meminjami penghapus dan tidak merasa terganggu. Sayangnya, menurut budaya Jepang, tidak begitu.

Baca juga  Mendidik Anak di Meja Makan ala Jepang: "Taberu Toki wa Taberu!"

Jadi ngerti sekarang, kenapa orang Jepang kalau mau protes ke tetangga yang berisik harus lewat polisi. Karena menegur langsung akan “mengganggu keharmonisan” hidup bertetangga. Sementara, polisi tugasnya adalah “menjaga” masyarakat, jadi mereka memilih menyerahkan masalah ke “yang bertanggungjawab menjaga masyarakat”.

Sama halnya di sekolah. Guru adalah orang yang berada di tingkat hierarkial tertinggi di kelas. Kalau ada masalah apapun yang “mengganggu keharmonisan”, maka sudah sewajarnya dilaporkan ke guru dan biarkan guru yang menindak. Paham ngga sih?

Konsep hidup bersosialisasi di Jepang adalah keharmonisan sosial, yang artinya setiap orang punya tanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kepentingan umum. Setiap ada masalah, masalah itu harus diselesaikan oleh “yang berwenang”, ini adalah bentuk keharmonisan sosial dan tanggungjawab di Jepang.

Makanya, kalau di dalam budaya kantoran, biasanya akan sangat saklek dan sangat kaku bagi satu orang/departemen mengerjakan apa yang bukan jobdesc-nya. Karena, mengerjakan hal yang bukan wewenangnya itu secara tidak langsung seperti merusak keharmonisan dan pola tanggungjawab. Ngga heran banyak orang asing yang menilai bahwa budaya itu terlalu kaku, but that’s what makes Japan, Japan. Nilai budayanya di situ.

My Take on This Matter

Sekarang jadi lebih paham kan, kenapa orang Jepang sangat disiplin, sangat menjaga kepentingan sosial? Ternyata karena ini sudah di”program” dari kecil.

Budaya Indonesia dan Jepang memang beda, tapi menurut saya, tidak ada salahnya kita mengadaptasi budaya yang satu ini. Mengajar konsep kepemilikan sejak dini nyatanya dapat membuat manusia lebih bertanggungjawab terhadap apa yang miliknya dan apa yang merupakan milik umum.

Siapa tau nanti koruptor akan makin berkurang kalau anak-anak diajari konsep kepemilikan, tanggungjawab, dan keharmonisan sosial sejak kecil.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *