Sebenernya uda lama pingin nulis ini, tapi maju mundur terus. Kejadian udah lama, dan uda selesai, tapi tetep rasa malunya tuh masih kerasa sampai sekarang. Yes, saya pernah nge-bully teman sekelas pas SD. And this is what I learned from my past action.

Alkisah Jaman SD

Saya dulu tergolong anak yang suka “berlama-lama” di sekolah. Bukan apa-apa, tapi karena orang tua sibuk, jadi harus jemputan orang tua setelah orang tua selesai kerja. Seenggaknya saya harus nunggu sekitar 2 jam di area sekolah sampai dijemput.

Karena waktu tunggu yang lama, saya jadi suka cari tempat-tempat “nongkrong”, kaya semacam “markas” nunggu jemputan. Ada gedung baru di SD saya waktu itu yang punya balkon lantai 2 yang sepi dan tidak terpakai. Jadilah saya pakai area tersebut untuk nongkrong, dan saya berbagi tempat itu dengan teman-teman satu geng tentunya.

Masalah datang ketika ada teman sekelas lain yang ingin ikut bermain di tempat tersebut. Karena ingin menjaga eksklusifitas tempat tersebut, saya berinisiatif untuk mengirimkan surat yang bernada “mengancam” supaya si teman sekelas ini ngga nimbrung ke situ.

Karena saya satu geng dengan teman-teman paling populer di kelas, saya jadi merasa memiliki “kekuatan” untuk menekan si teman ini, melalui sebuah surat.

Saya ngga terlalu inget detil kejadian, tapi saya ingat betul bahwa surat-surat saya itu kemudian sampai ke wali kelas. Saya dan geng saya akhirnya dipanggil oleh wali kelas dan “disidang” di depan kelas. Masalah selesai di meja guru di kelas kami. Tindakan kami “dicatat”, kemudian semua minta maaf, dan tidak ada lagi kelanjutan pertikaian itu.

Baca juga  Pelajaran Penting dari Sebuah Pertikaian

Meski masalah selesai, saya tidak bisa lupa rasa malu bercampur marah ketika saya dipanggil wali kelas kala itu. Dan itu jadi perasaan yang masih linger sampai sekarang. Kalau inget kejadian itu, saya jadi kepikiran, apa yang mendasari saya untuk melakukan hal-hal seperti itu. Ternyata, itu terjawab di fase kehidupan berikutnya.

Alkisah di SMP

Kalau saya ingat-ingat lagi, masa SMP saya biasa saja. Saya ngga punya prestasi apa-apa. Saya punya teman-teman baik, tapi ngga geng-geng-an seperti jaman SD. Jangankan mengintimidasi orang lain, justru saya dulu pernah terlibat pertikaian dan ditonjok temen laki-laki di SMP.

SMP saya kebetulan SMP top di kota saya, muridnya satu angkatan sampai 400 siswa. Personaliti dari masing-masing siswa sangat variatif. Dan saya cuma jadi background di cerita orang-orang yang lebih variatif kepribadiannya.

Dari situ saya sadar, mungkin pada dasarnya saya hanyalah seorang yang insecure, yang tidak percaya diri, yang bersembunyi dibalik orang lain. Mungkin sewaktu SD saya insecure karena ada teman lain yang ingin bermain dengan teman-teman dan tempat bermain favorit saya, makanya saya jadi ingin mengintimidasi. Tapi saya bukan siapa-siapa, ngga percaya diri, makanya saya mengajak teman-teman untuk sama-sama mengintimidasi.

Sewaktu SD, saya punya geng yang isinya orang-orang hebat, dan saya bisa bersembunyi dibalik mereka. Sewaktu SMP, saya ngga tergabung dengan geng-geng orang keren, jadi saya merasa “ngga punya power”. Jadilah saya yang hanya seperti batu kerikil di jala.

Masa SMP akhirnya terlewati dengan lebih banyak nge-wibu, lebih banyak belajar menulis, belajar bahasa Jepang (yang untungnya bermanfaat di kemudian hari), karena di sekolah saya merasa tidak “mampu” menjadi siapa-siapa di tengah aneka kepribadian yang ada.

Baca juga  3 things that irritate me as I grow old

Alkisah di SMA: #menjadilebih baik

Masa SMA mungkin jadi titik balik dalam hidup saya. Saya bertemu dengan orang-orang baik yang benar-benar membimbing saya menemukan “diri” saya.

Ada senior yang melihat potensi saya dan memberikan saya kesempatan untuk memegang proyek penting dan menjalankan sesuai kreatifitas saya. Senior lain mempercayakan saya dengan tanggungjawab yang cukup besar di dalam lembaga OSIS. Hal ini membuat saya “percaya sama diri sendiri”.

Walau saya masih dianggap “labil” dan tidak mampu memengang posisi “pimpinan” majalah SMA waktu itu, tapi saya berhasil menemukan diri saya dari kecintaan saya terhadap menulis yang difasilitasi majalah sekolah (yang sampai sekarang masih saya teruskan kecintaan itu).

Saya juga menemukan diri saya di dalam tim dance SMA. Melalui tim dance ini, akhirnya saya kembali punya prestasi. Rasanya menyenangkan sekali menemukan diri sendiri, percaya dengan diri sendiri, dan saat itulah saya mulai merasa ngga lagi insecure.

Menurut saya, mentor yang baik, bimbingan yang baik, rasa percaya, dan tanggungjawab dapat membantu kita melawan rasa takut dan insecurity tersebut. Ketika kita percaya diri dan ngga lagi hidup dalam ketakutan, kita pun ngga akan merasa haus akan “power”. Ngga akan ada perasaan ingin mengintimidasi supaya kita terasa lebih “kuat” atau di posisi lebih “tinggi”.

Insekuritas dan ketakutan: a battle of a lifetime

Pada kenyataannya, rasa takut dan insecure yang mengakar dalam pribadi seseorang itu ngga bisa menghilang begitu saja. Trigger tertentu dapat membangkitkan rasa insecure dan ketakutan yang sama, yang berujung pada low self esteem.

Sepanjang kuliah dan kemudian lanjut S3, perasaan-perasaan seperti itu masih kerap datang. Bahayanya, rasa insecure dan ketakutan menurut saya adalah penghalang dalam edukasi. Makanya, berulang kali saya menulis bahwa seorang pelajar harus “percaya diri” kalau dia ingin sukses di pendidikannya.

Baca juga  Trauma pada Kucing: Kisah Jeje si Kucing Cantik

Sampai saat ini pun saya masih merasa memiliki insekuritas dan ketakutan, masih sering kambuhan, walaupun sekarang sudah tau gimana menghadapinya. Yang mengerikan adalah ketika rasa insekuritas dan ketakutan ini hadir dalam rumah tangga, you totally don’t wanna deal with that. Therefore, you have to fight that fear, insecurity and low self-esteem.

My message

At the end of the day, saya cuma mau berpesan bahwa di dalam seorang tukang bully, itu ada insekuritas dan ketakutan yang nyata yang bersumber dalam dirinya. Entah dari trauma masa lalu atau dari lingkungannya. Dan mereka belum menemukan cara “sembuh” dari kesakitannya itu.

Pelaku bully bisa jadi adalah orang yang tersakiti, dan belajar bahwa intimidasi dan kontrol sebagai cara mereka bertahan supaya tidak tersakiti lagi.

Bahkan sampai hari ini, saya masih malu kalau ingat satu titik di masa SD saya itu. Tapi, kalau tulisan dan refleksi ini bisa membuka wawasan, maka saya tidak malu untuk berbagi.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *