Salah satu pertanyaan yang sering saya dapat terkait dengan studi di Jepang adalah “Bagaimana caranya mencari supervisor S3 di Jepang?”. Siap-siap, anda akan terkejut mendengar jawabannya.
Tulisan ini saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi. Mungkin agak berbeda dengan beberapa teman, tapi tidak sedikit mahasiswa Indonesia di Jepang yang mempunyai pengalaman yang sama.
Dan pengalaman saya sebenernya lebih relatable untuk para lulusan Fakultas Kedokteran, terutama yang akan melanjutkan jenjang S3. Tapi tenang saja, saya yakin teman dari jurusan lain yang sama-sama mengincar S3 juga dapat mengambil hikmah dari pengalaman saya ini.
So, here we go!
Table of Contents
Pertama: Jenjang S2 dan S3 itu berbeda
Hal pertama yang harus dipahami sebelum kita membahas soal supervisor adalah tentang perbedaan jenjang S2 dan S3. Buat yang pernah baca post saya yang sebelumnya, mungkin sudah tahu. Tapi akan sedikit saya bahas lagi di sini.
Jenjang S2 adalah jenjang penguatan keilmuan kita dan semacam introductory menuju ke ranah riset. Jadi, di jenjang ini mayoritas akan dijalani dengan kuliah dan ujian, disertai sedikit pekerjaan laboratoris (di bidang science) atau field work (di bidang sosial).
Sementara jenjang S3, itu memang jenjang riset. Bisa dibilang 90% riset, sisanya kuliah dan tugas lainnya. Tidak ada ujian selain ujian defense thesis atau ujian mempertahankan disertasi kita diakhir studi.
Karena jenjang S2 itu banyak kuliahnya, tentu kualitas universitas, fasilitas, dan jenis program S2-nya sangat menentukan ketika kita akan melanjutkan ke S2. Tentu kita akan memilih universitas dan program yang bagus.
Sedangkan di jenjang S3, kita harus lebih spesifik ingin meneliti apa dan siapa pakar yang mumpuni di bidangnya dan mampu membimbing kita. Instead of mencari universitas top, kita lebih baik mencari sesosok profesor yang memang mumpuni di bidangnya, dengan track record yang baik, dan bersedia menjadi supervisor.
Mencari Supervisor S3 di Jepang: kunci pertama yang terpenting
Seperti post saya sebelumnya, jika ditanya mana yang lebih penting, cari beasiswa atau supervisor dulu, maka 100% saya akan jawab cari supervisor dulu.
Karena di jenjang S3, tanpa supervisor bisa dibilang kita tanpa tujuan. Dan tanpa tujuan, maka tidak ada beasiswa yang mau mempercayakan uangnya kepada kita. Maka dari itu, penting untuk kita mencari supervisor dulu.
Pembimbing dengan kriteria seperti itu tidak selalu ada di universitas-universitas top. Jadi, saya tidak menyarankan untuk mencari berdasarkan list/ranking universitas top.

Ada beberapa hal yang saya sarankan untuk mempermudah mencari supervisor S3 di Jepang:
Bergabung dengan grup penelitian yang banyak bekerja sama dengan institusi di Jepang
Misalnya, kalo di FK UNAIR ada Institute of Tropical Disease (ITD) dan sekarang ada grup-grup penelitian di dalamnya yang selalu bekerja sama dengan Kobe University.
Kalo di FK UGM, banyak dosen dan konsulen lulusan Kobe University yang punya grup-grup penelitian juga, yang masih cukup sering bekerja sama dengan universitas-universitas di Jepang. Sama halnya dengan di FK UI dan FK UB.
Jika kita bergabung dalam grup penelitian itu sebagai asisten peneliti (aspen) misalnya, selain kita bisa menimba ilmu yang akan sangat bermanfaat ketika kita S3 nanti, kita juga akan sering berinteraksi dengan sensei-sensei atau supervisor dari Jepang yang diajak bekerja sama.
Sehingga, jika sensei tersebut membuka peluang untuk S3, kita bisa jadi orang pertama yang mendaftar. Bahkan tidak jarang ada supervisor yang “memberi jatah beasiswa” untuk anggota grup penelitian yang bekerja sama dengan mereka.
Misalnya melalui skema U-to-U dari beasiswa MEXT Jepang, atau dengan beasiswa khusus dari institusi Jepang.
Memperluas networking ke para alumnus Jepang
Selain bekerja menjadi aspen, jika kita punya kesempatan untuk networking dengan para alumnus Jepang, tentu akan membantu kita untuk menemukan supervisor yang sesuai dengan bidang kita.
Saya pun dulu menggunakan strategi ini, karena saya tidak memiliki kesempatan untuk bergabung dalam grup-grup penelitian (dulu jaman saya, grup penelitian seperti ini sangat jarang).
Kesempatan saya untuk bisa bergabung di lab tempat saya S3 dulu justru saya dapatkan dari informasi seorang kolega ibu saya. Kolega ibu saya tersebut merupakan lulusan Kobe University, Jepang.
Saya mengenal Kobe University sebagai salah satu universitas dengan riset kedokteran yang mumpuni. Saya pun melakukan networking ke kolega ibu saya tersebut, yang mana komunikasi itu berlanjut dengan saya diperkenalkan dengan supervisor saya yang ternyata bekerja di bidang cardiovascular, salah satu bidang yang saya incar kala itu.
Kebetulan sang supervisor sedang mencari prospectus student kala itu. Setelah komunikasi dan diskusi yang cukup panjang, akhirnya saya mendapat kesempatan untuk masuk ke lab supervisor saya tersebut.
Ikut kuliah dosen tamu dari Jepang, dan approach
Ini adalah salah satu strategi yang digunakan oleh teman saya. Dimana dia pernah mengikuti kuliah yang diberikan oleh seorang guru besar dari Jepang.
Saking tertariknya dengan topik yang dibicarakan oleh sang guru, teman saya itu mendatangi dan berdiskusi langsung dengan sang guru, dan diskusi pun sampai ke peluang untuk melanjutkan studi ke Jepang.
Gayung bersambut, guru tersebut sangat senang mendapatkan seorang prospectus student yang bersemangat untuk melanjutkan studi. Jadilah teman saya tersebut mendapatkan peluang untuk bergabung di lab guru tersebut, dengan syarat ia bisa mendapatkan beasiswa untuk mendukung studinya.
Beruntungnya, walaupun tidak membantu persis secara langsung, calon supervisor biasanya akan membantu dan membimbing kita untuk mendapatkan beasiswa yang tersedia dan cocok untuk kita.

Dalam kasus saya, supervisor saya banyak membantu saya dalam menyusun proposal dan rencana penelitian untuk aplikasi beasiswa saya. Begitu pula dengan teman saya, yang akhirnya mendapatkan beasiswa pemerintah Jepang untuk berangkat studi ke Jepang.
Makanya, menurut saya, mencari supervisor untuk S3 di Jepang sangat penting dan bahkan lebih penting dari mencari beasiswa.
Tapi, untuk bener-bener bisa masuk di lab tujuan dan berangkat ke Jepang juga butuh effort yang ngga sedikit lho, terutama untuk persyaratan administratif universitas, jadi ngga auto masuk juga. Perlu usaha keras!
Menghubungi calon supervisor via e-mail
Ini sebenernya adalah cara yang paling umum dan paling normatif. Umumnya, ketika kita sudah punya topik yang ingin kita pelajari, kita akan mencari informasi terkait supervisor di internet. Termasuk informasi e-mail untuk korespondensi.
Selanjutnya kita bisa memulai berkorespondensi, dimulai dari perkenalan dan penyampaian tujuan kita melalui e-mail. Mudah, kan?
Tapi menurut saya, cara ini paling tidak efektif kalau mencari supervisor S3 di Jepang. Karena biasanya para supervisor ini akan sibuk dan tidak punya waktu untuk mengecek e-mail mereka. Sehingga korespondensi sering tidak lancar.
Apalagi dalam kondisi sang supervisor tidak mengenal kita. Pasti ada rasa ragu untuk membuka e-mail dari orang yang tidak dikenalnya.
Untuk yang menempuh jalur ini, saran saya sebaiknya mencari “orang dalam” yang bisa menjembatani komunikasi ini. Misalnya berkenalan dengan orang Indonesia yang bekerja di laboratorium tujuan kita.
Manfaatnya, “orang dalam” ini bisa membantu memonitor korespondensi dengan calon supervisor, misalnya membantu menanyakan apakah e-mailnya sampai atau masuk spam (ini sering terjadi), atau bahkan mengenalkan ke supervisor supaya supervisor tidak ragu untuk berkorespondensi dengan kita.
Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, mencari supervisor S3 di Jepang itu adalah langkah pertama yang harus dilakukan kalau kita mau lanjut S3 di Jepang, baru nanti mencari beasiswa.
Karena supervisor S3 itu sifatnya seperti jodoh, cocok-cocokan gitu. Tapi perannya sangat menentukan, mulai dari tahap penerimaan, beasiswa, hingga kelulusan nanti. Jadi carilah supervisor yang bener-bener cocok dan baik.
Beberapa tips yang saya sarankan antara lain adalah dengan bergabung di grup penelitian (menjadi aspen penelitian), networking dengan alumnus Jepang, ikut kuliah dosen tamu dari Jepang, dan juga korespondensi dengan e-mail.
Peran “orang dalam” (orang yang sudah mengenal calon supervisor) menurut saya juga sangat berperan, sebagai jembatan komunikasi dengan calon supervisor.
Tapi, ini hanya pembukaan. Setelah mendapat supervisor, tentu kita harus melengkapi persyaratan untuk pendaftaran dan juga mendapat beasiswa, yang itu butuh effort luar biasa. Baru kita bisa benar-benar melanjutkan studi di Jepang.
Nah, gimana menurut temen-temen? Kalo ada pertanyaan atau kalau ada yang mau menambahkan informasi, silahkan di kolom komentar ya!
Wao pengalaman yg luar biasa, thx sharingnya
Terimakasih sudah mampir kemari! Semoga informasinya bermanfaat, kakak yesha nasi!