Sebelum menikah dengan suami yang notabene WN Jepang, ada beberapa hal yang saya takutkan, termasuk soal rumah tangga dan stereotipi peran laki-laki dalam keluarga Jepang. Karena konotasi-nya buruk. Tapi, pelan-pelan saya paham bahwa ternyata tidak seperti itu.
Table of Contents
Stereotipi peran laki-laki dalam keluarga Jepang
Saya masih ingat sekali cerita ayah saya ketika beliau pulang dari program riset-nya di Jepang. Ayah saya bilang bahwa supervisornya di Jepang adalah laki-laki yang sangat “kejam”.
Ayah saya bilang, supervisornya ini kalau belum malam, belum mau pulang ke rumahnya, meskipun hari itu pekerjaan di kantor tidak banyak. Alasannya, karena lelaki pekerja sudah sewajarnya menghabiskan banyak waktunya bekerja di luar, bukan “di rumah”.
Mungkin kalau ada yang suka nonton drama Jepang, pasti sadar. Kerap kali kepala keluarga di Jepang digambarkan sebagai orang yang dingin, baca koran di meja makan sementara istrinya menyiapkan sarapan seperti seorang asisten rumah tangga.
Atau yang seperti supervisor ayah saya. Pulang selalu malem. Padahal kadang bukan kerja, hanya minum-minum saja di luar. Atau yang bekerja di hari libur karena menghindari mengurus rumah tangga di akhir pekan.
Inilah yang dulu ditakutkan oleh orang tua saya ketika tahu saya punya cowok orang Jepang. Mereka seolah selalu bertanya, “kamu mau nanti dicuekin, ditinggal kerja sampe malem?”
Keluarga Jepang Jaman Dulu vs Jaman “Now”
Usut punya usut, ternyata cerita dan stereotipi seperti itu tidak sepenuhnya fiksi. Dalam realitanya, memang ada yang seperti itu.
Saya dengar dari nenek dari suami, kalau memang tatanan keluarga Jepang jaman dahulu seperti itu. Perempuan itu di rumah, kebahagiaannya adalah memenuhi kebutuhan suami. Laki-laki itu di luar, bekerja. Semakin malam pulangnya, semakin bekerja keras, semakin baik.
Laki-laki memang “bukan tugasnya” untuk mengurus rumah. Rumah seolah-olah menjadi domain perempuan, makanya beberapa laki-laki lebih suka bekerja di luar daripada harus berada di rumah.
Saya lihat generasi nenek suami memang begitu semua. Senang sekali berada di rumah, masak buat suami, dan sebagainya. Dan mereka cenderung tidak peduli kalau suami mereka perannya hampir nol dalam rumah tangga, selain peran provide and protect.
Bahkan dulu sempat saya dengar cerita tentang pensiunan yang merasa tidak nyaman di rumah. Karena si istri merasa domain-nya di campuri suami yang sudah pensiun, sementara suami merasa “salah tempat” dengan berada di rumah terus.
Makanya, ngga heran kalo di Jepang kita ketemu pegawai atau pekerja yang usianya sudah sangat lanjut, tapi masih bekerja. Kadang bukan soal uang semata, tapi juga soal kenyamanan berada di domain-nya masing-masing.

Jaman sekarang?
Dari pengalaman yang saya liat antara generasi nenek kakek suami dan orang tua suami sudah sangat berbeda.
Di generasi orang tua suami, banyak bapak-bapak yang ngga segan turun ke dapur untuk memasak atau sekedar cuci-cuci. Termasuk ayah mertua saya.
Meskipun stereotipi peran laki-laki dalam keluarga Jepang tetep kuat peran provide and protect-nya, tapi semakin kesini semakin fleksibel.
Kalau yang suka nonton Netflix atau baca komik, barangkali familiar dengan Gokushufudo. Cerita tentang mantan Yakuza yang banting setir jadi bapak rumah tangga. Atau drama At Home Dad yang memperkenalkan konsep stay-at-home dad di era awal tahun 2000-an.
Pekerjaan Rumah Tangga dan Survival
Suami saya dulu sekolah di sekolah swasta khusus laki-laki. Jenjang SMP dan SMA-nya dihabiskan disekolah yang isinya laki-laki semua. Menariknya, meskipun sekolahnya ngga ada perempuannya, tapi pelajaran rumah tangga masuk ke dalam kurikulum mereka.
Saya masih ingat dulu ketika menyiapkan baju akad nikah, saya pernah meminjam gunting dari suami. Suami mewanti-wanti untuk ngga menggunakan gunting tersebut untuk memotong hal lain selain kain, karena gunting tersebut adalah gunting khusus kain.
Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa dia menyimpan gunting khusus kain padahal dia tidak punya hobi menjahit atau crafting.
Usut-punya usut, ternyata suami punya satu set alat menjahit yang dia simpan sejak SMP. Sebab alat tersebut dia pakai untuk pelajaran menjahit di sekolahnya. Tentu saya bertanya-tanya kenapa sekolah laki-laki tapi ada pelajaran menjahit.
“Karena pekerjaan seperti memasak, menjahit, mencuci, beres-beres, itu adalah skill yang sangat penting untuk survival,” jelas suami. Itulah yang diajarkan di sekolahnya. Bahwa, laki-laki pun harus bisa melakukan basic house chores, itu bukan soal gender, tapi soal survival.
Jaman sekarang ngga heran sih kalau liat laki-laki Jepang yang pinter masak. Mungkin 90% dari mereka bisa masak, karena penting untuk survival. Ngga heran juga liat suami yang pintar masak, pinter beres-beres, pinter cuci-cuci, sampe pinter ngelabelin baju pake jahitan.
Imbasnya, saya jadi bisa selalu berbagi tugas dengan suami. Sekarang, peran provide and protect bukan cuma punya suami, pun tugas masak dan beberes rumah, bukan tugas saya semata. Rasanya? Enak. Bebas memilih peran.
Kesimpulan
Kehidupan dan tatanan keluarga di Jepang sekarang sudah jauh berubah. Stereotipi terhadap peran laki-laki dalam keluarga Jepang sudah sedikit demi sedikit bergeser, ngga se-saklek dulu.
Saya setuju dengan suami, bahwa kemampuan memasak, menjahit, beres-beres adalah tuntutan survival, bukan pekerjaan yang gender-based. Jadi, sudah sewajarnya laki-laki melakukannya.
Bagaimana menurut teman-teman?
Wah, keren kurikulumnya. Ada mapel kerumahtanggaan walaupun sekolah cowok. Ini pada akhirnya yg membuat perubahan di masyarakat.
Semoga di Indonesia nanti ada kurikulum seperti ini. Soalnya memang benar itu penting untuk survival
Wah sampai sampai ss nih. Bisa jadi rujukan pas mau cari boarding school buat anak yang 2 tahun lagi lulus SD 🙂
Semoga dapet yang kurikulumnya pas kak!
Kalau ditarik ke menurunnya angka pernikahan Jepang, bisa dijelaskan kah? Kalau suami dan istri sama-sama provide, protect, dan mengurus rumah tangga, why angka pernikahan tetap menurun?
Kayanya ada dua alasan kak kl menurut saya. Yang pertama, menurunnya angka pernikahan bisa pure karena masalah finansial, krn hidup di Jepang makin ke sini makin mahal kak, karena harga-harga naik (krn memang lg inflasi), pajak naik, tapi gaji tetap sama. Dan baru blkgn ini aja pemerintah Jepang bikin program bantuan dana dan tax waiver buat keluarga yang punya anak.
Yang kedua, justru karena peran provide dibagi berdua, kadang cewek2 yg udah jago provide jd ga tertarik untuk ambil peran rumah tangga. Kl menurut saya pribadi, alasan yang kedua ini yg lebih sering saya temui di muda-mudi Jepang.
Tapi ini opini pribadi sih kak hehe